Indira - 15

17.8K 2.3K 47
                                    

Sudah sepuluh menit yang lalu Indira terbangun, namun ia belum mau beranjak dari kasur, di mana pria yang ia cintai tidur tepat di sampingnya. Saat ini Indira sedang menatap Juan, pria itu tidur pulas. Wajahnya tenang, dan tidak terlihat berbahaya seperti saat dia memegang pistol tadi malam.

Indira bergidik hanya dengan mengingat kemarahan Juan tersebut, seolah Juan baru saja keluar dari neraka dan ingin menghabisi seseorang. Untung amarah itu segera reda begitu Indira memeluknya, mengiyakan perkataan pria itu. Indira mengira setelahnya Juan akan bercinta dengannya---karena jika sedang marah itulah yang paling diinginkan Juan biasanya---tapi tidak, Juan hanya memeluknya kemudian tidur. Tadi malam Juan lebih dulu tidur daripada Indira, saat tengah malam lewat barulah ia bisa tidur.

Indira ingin menyentuh wajah Juan tapi takut pria itu bangun, ia hanya memperhatikan saja. Bagaimana mulutnya yang sedikit terbuka menghembuskan napas, bagaimana keningnya yang berkerut dalam tidur. Juan memiliki rahang tegas, yang akan menegang jika ia marah. Sesungguhnya Indira tidak pernah benar-benar takut akan kemarahan Juan, hingga tadi malam. Rasanya seperti ia berhenti bernapas. Apalagi ketika Juan mengatakan akan menembak dirinya sendiri, ia ingin memukul Juan saat itu karena leluconnya yang tidak lucu.

Indira menyadari betapa berartinya Juan untuknya. Juan adalah hatinya, merupakan kebahagiaannya, dan masa depannya. Ia tersenyum, sebentar lagi mereka akan menikah. Tapi tiba-tiba ia cemberut ketika mengingat sifat cemburu Juan yang mengerikan, ia harus menemukan cara agar Juan mengurangi sifatnya itu. Juan harus tahu dan tidak ragu bahwa ia mencintainya, menginginkannya, hanya dia.

Mata Juan terbuka perlahan dan menatap Indira yang juga menatapnya. Untuk sesaat Juan tampak manis karena kelihatan linglung.

"Pagi," ujar Indira lembut seraya tersenyum.

"Pagi," Juan menutup mata lagi.

"Masih belum mau bangun?" Indira mengusap pipi Juan.

"Hhmm."

"Baiklah," Indira duduk, mengikat rambutnya asal. "Lanjutkan tidurmu, aku akan melihat Gisel."

''Sudah jam berapa?" tanyanya masih dengan menutup mata.

"Jam tujuh."

"Berikan aku waktu sepuluh menit lagi, nanti aku bangun."

Indira mengecup cepat pipi Juan. "Nggak perlu, tidurlah lebih lama kalau kamu mau."

"Kita harus ke rumah sakit." ujar Juan dengan nada serak. "Kamu bilang ibu ingin bertemu denganku."

"Itu bisa menunggu, kita punya waktu seharian." Indira turun dari tempat tidur, tapi Juan menarik tangannya. "Apa?" Dia menatap Juan.

"Mana ciuman selamat pagiku?"

Indira terkekeh. "Tadi aku sudah menciummu."

"Di pipi tidak termasuk."

Indira menggeleng, ia menaikkan satu kakinya ke ranjang, memajukan tubuhnya dan meletakkan bibirnya di atas bibir Juan. Indira bermaksud memberi kecupan ringan namun Juan memiliki keinginan lain.

Juan menyatukan bibirnya, melumat secara menyeluruh setiap bagian mulut Indira. Juan mengerang, memperdalam ciumannya. Indira memejamkan mata, membuka bibirnya dan membiarkan lidah Juan masuk. Ia melenguh, bergetar dengan setiap jilatan lidah Juan. Napas Indira tersengal-sengal saat Juan memindahkan ciumannya ke leher, ia meremas rambut Juan.

"Kamu bilang hanya ciuman," dengan tak berdaya ia mengingatkan. Juan menghisap lehernya, meremas payudaranya.

"Oh, Tuhan, kamu membuatku gila, Indira. Aku tidak pernah berhenti ingin menciummu, ingin berada di dalammu."

Indira (Playstore)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang