Sudah dua minggu berlalu sejak Juan melamar Indira. Setiap hari semakin baik untuk hubungan keduanya. Juan tetap seperti biasa, yang lebih sering bersikap datar dan tanpa senyum, namun ketika malam tiba Indira akan merasakan lembutnya cumbuan pria itu. Juan membuatnya mendamba, melayang dan mengerang nikmat. Juan tidak pernah gagal membuatnya menginginkan lebih. Baru di saat itulah Juan akan tersenyum, pria itu juga merasakan apa yang dirasakannya.
Meski sudah memenuhi kebutuhan Juan di ranjang, Indira masih tetap tidak berhasil membujuk Juan untuk mengembalikan pekerjaannya. Juan berkeras agar Indira berhenti bekerja karena toh sebentar lagi mereka akan menikah, Juan yang akan membiayai segala kebutuhannya.
Indira tidak bisa melakukan apapun selain menuruti keputusan Juan, tapi sebagai gantinya Juan tidak boleh mempercepat pernikahan. Pernikahan tetap dilakukan sesusi rencana. Juan hendak protes pada awalnya namun pelototan Indira mencegah pria itu berkata lebih banyak.
Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan Indira menolak tanggal pernikahan dimajukan, salah satunya adalah keadaan ibunya yang memburuk.
Minggu lalu Juan mengajak Indira ke rumah ibunya untuk membicarakan pernikahan mereka, sekaligus meminta ijin untuk menikahi Indira. Tapi Indira memutuskan untuk bicara sendiri dulu. Pasalnya ibu dan adiknya belum tahu kalau Indira sudah punya pacar. Indira ingin membicarakannya dengan perlahan supaya ibunya tidak terkejut dengan berita pernikahan tersebut.
Ketika Indira pergi ke sana, keadaan ibunya kurang baik. Jadi ia membatalkan niatnya memberitahu, ia ingin ibunya mendengarnya tidak dengan batuk serta meringis karena kesakitan. Waktu itu terpaksa ibunya dilarikan ke rumah sakit, Indira pulang ke rumah dengan pikiran kalut dan cemas.
Hingga sekarang ia belum menemukan waktu yang tepat untuk memberitahu keluarganya. Semua itu membuat kepalanya lebih sering sakit, bahkan sekarang ia mulai mual-mual.
Indira berusaha agar Juan tidak tahu keadaannya itu. Juan selalu berangkat pagi-pagi, dan Indira berhasil menahan mualnya sampai Juan pergi. Mualnya berlangsung hanya di pagi hari tapi Pusing di kepalanya bisa terjadi di setiap waktu.
Seperti sekarang, ia hampir jatuh saat rasa sakit itu menderanya. Juan yang baru keluar dari kamar mandi langsung memegang bahunya.
"Kamu kenapa?" tanya Juan, memperhatikan wajah Indira yang sedikit pucat.
Indira berpegangan pada Juan. "Nggak tahu," jawabnya, menyandarkan pipinya di dada Juan yang lembab. Aroma sabun tercium segar di hidungnya, Indira menghirup aroma itu dengan rasa senang.
"Sudah periksa ke dokter?"
Indira menggeleng. "Pusingnya nggak lama, sebentar lagi juga hilang. Biasanya juga kayak gitu." Demi apapun Indira takkan mau berpisah dengan Juan. Rasanya begitu nyaman ketika kedua lengan kuat itu melingkupinya, ia merasa aman. Juan memiliki dada yang bidang, yang bisa dijadikannya sandaran kapanpun ia ingin.
"Biasa?" nada suara Juan meninggi, ia memegang pipi Indira, membuat wanita itu melihatnya. "Kamu sering sakit kepala? Kenapa kamu tidak bilang? Seberapa sering, Indira?"
Indira menarik wajahnya dari tangan Juan, ia kembali meletakkannya di dada pria itu. Entah kenapa aroma tubuh Juan sedikit meredakan rasa pusingnya.
"Aku baik-baik saja, Juan. Sekarang saja sudah nggak terlalu sakit lagi."
"Tapi itu tidak wajar kalau terlalu sering. Sebaiknya kita ke dokter, tunggu aku pakai baju dulu."
Indira lupa Juan hanya mengenakan handuk yang tergantung di pinggulnya. Ia tersenyum kecil, bahkan Juan bergairah. Indira merasakannya dari balik handuk putih itu. Tapi memangnya kapan Juan tidak bergairah jika sudah berduaan dengannya? Apalagi di dalam kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira (Playstore)
RomanceNote: akan dihapus satu munggu setelah tamat, jadi sebaiknya kamu baca sekarang. Jangan bilang aku belum ingatin ya... ______________________ Novel dewasa Setelah ayahnya meninggal, Indira menjadi satu-satunya orang yang bertanggung jawab untuk adik...