Indira - 8

18.8K 2.4K 109
                                    

Lagi-lagi Indira tidak bisa menolak tumpangan yang ditawarkan Bima. Kali ini Bima tidak mengeluarkan sifat narsisnya, melainkan dengan wajah memohon dan penuh harap.

"Tunggu bentar, ya." Bima berlari kecil menuju parkiran, di mana ia memarkir motornya.

"Lho, kok motor, Bim?" Indira memandang Bima dengan alis terangkat.

Bima tertawa. "Mobilku lagi di bengkel, Ra. Kali ini kita naik motor saja, ya."

Indira menatap ke sekitar, takut ada yang memperhatikan mereka.

Gosip tentang dia dan Juan memang sudah berhenti, tidak ada lagi yang menanyakan hubungannya dengan Juan. Juan bersikap biasa di kantor, karena itulah perihal Indira dan Juan pergi bersama ke ulang tahun Dimas sudah dilupakan.

Motor Bima adalah motor besar. Indira harus berpegangan di bahu pria itu untuk naik.

"Pegangan," ujar Bima, tertawa saat Indira hanya memegang jaketnya. Indira mulai merasa aneh dengan sifat Bima yang seolah selalu ingin berdekatan dengannya. Saat jam makan siang tiba dia akan mengirim pesan supaya Indira jangan lupa makan, kalau tidak datang sendiri ke ruangan Indira untuk mengajaknya makan siang di luar.

Indira belum menemukan cara yang tepat mengatakan pada Bima bahwa ia sudah punya kekasih. Sejauh ini Bima belum memberi Indira alasan untuk menjauh secara perlahan dari pendekataannya. Sementara Bima dengan halus terus melontarkan perasaannya, Indira takut Juan akan salah sangka.

Tapi tidak mungkin. Juan pasti tidak akan mempermasalahkan kedekatannya dengan Bima, karena memang tak ada apa-apa di antara mereka. Cemburu adalah hal terakhir yang akan dilakukan Juan.

Juan memang menginginkan Indira di tempat tidurnya, tapi kedekatan seperti yang dilakukan Indira dan Bima bukan apa-apa. Juan terlalu sibuk untuk mempermasahkan hal sepele seperti itu.

Bima dengan santai melajukan motornya menyelip beberapa kendaraan.

"Sepertinya akan turun hujan," kata Indira, menatap langit yang gelap dan kilat yang menyambar.

''Semoga saja tidak turun sebelum kita sampai di rumah."

Satu-dua rintik air hujan turun ke kulit Indira. "Hujannya turun, Bim." Indira berujar cemas, rumah masih lumayan jauh.

"Sial," Bima merutuk ketika hujan semakin deras.

"Bagaiman ini?" Air hujan mulai membentuk pola-pola lingkaran di kemeja dan rok Indira.

"Kita berteduh dulu ya, Ra," Bima meminggirkan motornya ke sebuah bangunan tidak terpakai di pinggir jalan. "Kita bisa basah kuyup kalau tetap melanjutkan perjalanan."

Dengan berat hati Indira mengiyakan karena langit sangat gelap dan hujan benar-benar deras. Di teras bangunan tak terpakai itu mereka bergabung dengan beberapa pengendara motor yang juga sedang berteduh.

Indira turun dan menepis air dari bajunya, angin dingin menembus kemejanya yang tipis dan lembab.

"Kamu kedinginan?" tanya Bima mendekatinya. Indira tidak bisa berbohong karena saat ini dia gemetaran. Bima membuka jaketnya, menyelimuti punggung Indira dengan bahan hangat itu. Seketika getaran di tubuhnya berkurang.

"Terimakasih," bisik Indira.

Seusai menyelemuti punggung Indira, tangan Bima tidak bergerak dari sana.

Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan bangunan tersebut, menghalangi pengendari lain yang hendak berteduh.

Tiba-tiba ponsel Indira berbunyi. Dengan gerakan payah Indira mencari ponselnya di dalam tas. Ketika mendapatkannya ia terkejut melihat siapa yang menelepon.

Indira (Playstore)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang