Juan mencintai wanita lain! Wanita yang sudah punya suami.
Indira takkan mempercayai cerita itu, apalagi yang keluar dari mulut wanita yang membencinya. Juan bukan laki-laki seperti itu. Jika benar Juan mencintai wanita lain, Juan tidak mungkin mau bersamanya. Indira mengenyahkan semua perkataan Viona dari benaknya, berusaha mengingat semua kebersamaannya dengan Juan, namun samar-samar suara Viona masih berputar-putar di kepalanya.
Indira memasuki lobi kantor dengan terburu-buru hingga tidak memperhatikan langkahnya.
"Ya Tuhan, perhatikan jalanmu, Ra," Bima memegang bahunya, menahannya agar tidak jatuh ke lantai. "Ada apa? Kamu sakit?" Tatapan Bima menguncinya.
Wajah Indira sedikit pucat, kepalanya juga tiba-tiba pusing. "Maaf," kata Indira, ia menarik diri menjauh dari Bima. Indira oyong ketika lepas dari pegangan Bima, Bima kemudian menangkap bahunya lagi.
"Kamu pucat, Ra," Bima membawanya duduk di kursi panjang yang ada di sana. "Kamu sudah makan siang?" Indira menggeleng.
Bima memanggil satpam. "Tolong belikan air putih di kantin." Ia memberikan selembar uang lima puluh ribu padanya. "Dan belikan roti juga." Satpam itu pergi setelah mengangguk pada Bima. Bima mengembalikan tatapannya pada Indira. "Kamu dari mana? Temanmu mencarimu tadi."
Indira menatap Bima, pria itu tampan dengan setelan rapinya, rambutnya pun tertata baik, tidak seperti Juan yang selalu menyisir rambutnya hingga berantakan. Mengingat Juan Indira meringis, bagaimana kalau Juan melihatnya bersama Bima.
"Kenapa? Kepalamu sakit?" Bima mengira ringisan Indira akibat kepalanya yang sakit. "Kita ke ruanganku saja, supaya aku bisa memeriksamu."
"Nggak perlu, Bima," ucap Indira menolak pelan. "Setelah makan roti dan minum air putih keadaanku pasti lebih baik," ia tersenyum tapi Bima tampak tidak percaya.
"Aku akan menunggumu menghabiskan roti dan air minummu, dan mengantarmu ke ruanganmu. Aku tidak mau kamu pingsan saat kutinggalkan."
Indira mau tidak mau mengiyakan permintaan Bima. Kepalanya memang sakit sekali, Indira tidak yakin bisa berjalan tanpa gemetar, ia tidak tahu apa yang salah padanya.
Tak lama kemudian satpam datang membawa roti dan air mineral, Bima menyuruh penjaga keamanan tersebut menyimpan kembalian uangnya.
"Makan, Ra." Bima menyerahkan roti yang sudah terbuka bungkusnya pada Indira, setelah Indira meraih roti itu ia membuka botol air mineral dan memberikannya pada Indira Juga. "Habiskan air putihnya, Ra.'' Kata Bima saat Indira hanya meminum sedikit. "Lebih baik?" tanyanya.
Indira mengangguk. "Makasih, ya," dia tersenyum pada Bima. "Sebaiknya kita pergi, jam makan siang sudah hampir habis."
Bima membantu Indira berdiri. Beberapa pasang mata memperhatikan mereka, sebagian dari mereka sudah tahu hubungan Indira dengan bos di kantor tersebut hingga bisikan-bisikan menjadi tak terhindarkan.
Melihat tatapan orang-orang padanya, Indira bergerak menjauh dari Bima. "Aku bisa jalan sendiri, Bima." katanya, memejamkan mata ketika rasa pening itu datang lagi.
"Baiklah," gumam Bima tapi tetap memperhatikan Indira. "Aku akan berjalan di sampingmu, kamu belum baik sepenuhnya, Ra. Kepalamu masih sakit, kan?"
Indira mengangguk, sangat pelan, karena sedikit saja kepalanya bergerak kepalanya akan terasa sakit. "Makasih."
Indira berhasil tiba di ruangannya dengan Bima yang terus berjalan di sampingnya. ''Kalau memang nggak bisa kamu tahan sebaiknya kamu pulang saja, Ra," saran Bima. "Kamu bisa istirahat di rumah. Kalau kamu mau aku bisa mengantar kamu pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Indira (Playstore)
RomanceNote: akan dihapus satu munggu setelah tamat, jadi sebaiknya kamu baca sekarang. Jangan bilang aku belum ingatin ya... ______________________ Novel dewasa Setelah ayahnya meninggal, Indira menjadi satu-satunya orang yang bertanggung jawab untuk adik...