Indira - 17

16.5K 2.2K 61
                                    

"Jaga kata-katamu, Juan!" Indira menatap tajam. "Ada Gisel.".

Juan menatap putrinya, Gisel sedang memperhatikannya dengan serius. Juan menghela napas. "Apakah tidak ada cara lain selain bertemu baj....si Bima itu?" Juan hampir menyebutkan kata-kata kasarnya lagi.

"Kalau nggak biar aku saja yang bicara dengan Bima," Indira menawarkan.

"Oh?" Alis Juan menukik tajam.

"Harus ada yang bicara dengan Bima, Juan. Dia dokter yang merawat ibu, mau nggak mau kita harus melakukannya." Indira mencoba membuat nada suaranya sebiasa mungkin, ia tidak mau Juan salah mengartikan kata-katanya. Juan dan sifat cemburunya bukan hal yang mudah dipisahkan.

"Sebenarnya aku punya rencana lain."

"Apa?"

"Ibu kita pindahkan ke rumah sakit lain."

"Ya, Tuhan," Indira melongo. ''Sampai segitunya kamu nggak mau bicara sama Bima? Jangan konyol, Juan. Ibu nggak perlu dipindahkan ke manapun. Salah satu dari kita hanya perlu bicara dengan Bima dan masalah selesai."

"Sudah jelas bukan kamu orangnya," sergah Juan.

Indira mengangkat bahu. ''Itu berarti kamu yang bicara." Indira menghampiri Gisel. "Ayo, sayang. Kita cari makan siang." Ia menggendongnya, berjalan menjauhi Juan.

Gisel memandang dari atas bahu Indira. "Papa nggak ikut?"

"Nanti papa nyusul." Indira sengaja meninggalkan Juan sendiri. Juan terlihat kesal, dan Indira hampir memutar matanya ketika kecemburuan Juan datang lagi.

Dua jam kemudian mereka sudah di dalam mobil dalam perjalan pulang. Sebelum meninggalkan rumah sakit tadi, Juan memberikan kartu debit pada Kirana. "Gunakanlah kalau kamu memerlukan sesuatu, jadi kamu tidak harus menelepon kakakmu. Jangan menolaknya, sebentar lagi aku akan jadi kakakmu juga. Aku senang bisa membantu." Kirana refleks memeluk Juan saat itu juga, sedangkan Indira mengusap air matanya.

"Bagaimana tadi?" Gisel tidur di pangkuannya, ia merapikan letak kepala anak itu di dadanya agar Gisel bisa tidur dengan nyaman. Indira tidak sempat bertanya pada Juan tadi saat di rumah sakit karena ada ibunya, ia sudah tidak sabar mengetahui akhir pembicaraan Juan dan Bima.

Juan meliriknya sekilas. "Aku masih tidak menyukainya."

Indira sudah menduga bagian yang satu itu. Raut wajah Juan langsung berubah ketika mendengar nama Bima disebut, apalagi bertemu dan bicara berdua dengannya. Indira bersyukur tidak ada insiden mukul-memukul. Yah, kedua pria itu adalah makhluk dewasa, sudah seharusnya tidak ada adu jotos hanya karena masalah sepele, kan?

"Apa yang dikatakan Bima? Apakah dia sudah mendapat pendonor yang cocok?"

"Dia sedang mengusahakannya," kata Juan. "Ada beberapa dalam pemeriksaan kesehatab. Mungkin dua-tiga hari lagi dia memberitahu kita. Dia cukup profesional dalam pekerjaannya, kuharap dia tetap seperti itu."

Kalimat Juan ambigu, Indira sedikit bingung. "Maksudmu?"

"Beberapa kali dia menyiratkan masih menyukaimu," dengusnya. "Padahal aku sudah bilang kita akan menikah. Kalau bukan karena peringatanku yang cukup jelas, dia pasti mengatakan akan menunggu jandamu."

"Jangan berlebihan." Indira menegur.

"Itu kenyataannya, Indira. Dia bahkan tidak malu memberitahuku dia menyukaimu."

"Apa yang salah dengan Bima menyukaiku? Yang penting aku hanya menganggapnya sebagai teman. Kamu pasti melakukan hal yang sama kalau menyukai perempuan."

"Mengatakan rasa sukaku pada calon suaminya?" tanya Juan dengan nada mengejek. "Aku tidak mau melakukan hal konyol seperti itu. Aku akan merebut gadis itu bila aku benar-benar menyukainya."

Indira (Playstore)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang