part 22

7K 402 7
                                    

Bila berdiri menatap bangunan bergaya modern minimalis berlantai tiga di hadapannya. Melalui negosiasi panjang dengan kliennya akhirnya terjadi kesepakatan, sepertinya si klien tidak mau berpindah ke lain hati. Bangunan dengan  luas 450 meter persegi itu berdiri di atas tanah seluas 550 meter persegi. 

Ditekannya bel berkali-kali. Bila menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Sesaat kemudian pintu terbuka.

"Assalamualaikum!"

"Wa'alaikumusalam, Ibu Tasabila?"

"Betul, saya sendiri."

"Silahkan masuk, Bu! Tapi mohon maaf non Ersya nya masih dalam perjalanan ditunggu sebentar ya! Silahkan duduk, Bu! Lupa saya Bu, belum ada kursi, ke belakang saja, di sana ada bangku taman, mari Bu!"

Bila mengikuti wanita paruh baya yang berjalan di depannya sambil melihat-lihat sekelilingnya.

Sementara di tempat lain Reno tengah menikmati duduk di kursi direktur, lelaki yang usianya hampir 28 tahun itu terus memainkan pena milik ayahnya, terkadang ia memutarkan kursi dan bersenang-senang layaknya seorang bocah.

Di hari pertamanya masuk kantor ia terlambat dua jam dan sudah pasti ruangan itu tak akan bisa ia kuasai dalam waktu singkat  meski bukan itu tujuannya bekerja. Ia tak ingin menjadi seorang CEO meski ayahnya selalu memaksa, ia ingin bekerja sesuai keinginannya, tapi itu dulu, sekarang entah kenapa tiba-tiba sang ayah berubah, padahal ia sekarang begitu bersemangat ingin mendapat pekerjaan agar bisa menghidupi keluarganya kelak dengan hasil jerih payahnya sendiri. Ia senyum-senyum sendiri memikirkannya. Memikirkan dirinya dan sosok yang selalu membayanginya belakangan ini, bersamanya bisa melewati satu kata bernama pernikahan dan frasa rumah tangga.

Ponsel berdering. Panggilan dari seseorang yang ia kenal. Sesaat setelah menerima panggilan itu ia pergi. Entah kemana, tak ada yang bisa mengendalikannya.

💗💗💗

Keesokan paginya.

"Bil, sorry to say, yang awalnya aku mau kasih kamu pasukan 30 orang terpaksa batal, aku bisa ngasihnya 12 orang. Si Maya gak ngasih tahu pasukan kita banyak yang lagi cuti, yang nikah lah, sakit, syukuran dan selain dari itu, mereka masih ngerjain proyek lain. Sebagai gantinya aku kasih tenaga ekstra dari luar, tiga orang dulu, rekomendasi dari Windy."

Heru menelepon dan dengan santai membatalkan janjinya.

"Windy? Sejak kapan dia mencampuri kerjaan kamu? Biasanya juga dia cuek."

"Dia khawatir kerjaan kamu gak selesai tepat waktu dan kamu gak bisa hadir ke pernikahan kita karena alasan aku udah nyiksa kamu duluan. Jadi masih oke dengan 15 orang?"

"Drastis banget turunnya, orang segitu dalam kondisi normal oke bahkan kelebihan. Tapi mengejar waktu? Ini proyek tergila dimana perencanaan, penataan atau perancangan dilakukan bersamaan."

"SMK3L jangan lupa! Fighting Bila!"

"Fighting! Huh! Insya Allah, mohon do'a nya. Assalamualaikum!"

"Wa'alaikumsalam."

12 pekerja yang dijanjikan telah hadir di halaman depan. Sebelum melaksanakan pekerjaan terlebih dahulu mereka berdo'a, karena keselamatan dan kesehatan yang selalu diingatkan pada rekan-rekannya hanya akan menjadi sebuah kalimat tanpa arti tanpa izin dan kuasa-Nya. Segera setelah melakukan briefing Bila menginstruksikan untuk memulai tugasnya masing-masing. Dimulai dari pengecatan ruangan. Beberapa furniture telah dipesan dan tinggal menunggu pengiriman.

Pintu terbuka lebar. Terlihat seseorang sedang mengaduk cat yang memang sudah dikirim kemarin sore. Tembok juga sudah dipastikan siap untuk dicat.

"Hai, Bila! I've been waiting for sooo long. Sorry mulai duluan, aku mulai dari dinding yang harus dicat putih sesuai gambarmu yang ada di meja. Is it ok?"

Bila terperangah.

Apa yang membawanya datang ke sini? Apa ia benar-benar tidak punya pekerjaan lain seperti yang diceritakan anggota keluarganya. Apa dia salah satu pasukan tambahan? Windy, mungkinkah dia yang direkomendasikan pada Pak Heru???

"Aku masih waras, reaksimu melihatku seperti melihat orang gondrong yang gendeng."

"Maaf, gak bermaksud seperti itu tapi ngapain di sini?"

"Kerja lah, setiap orang kan butuh makan."

"Kalau begitu pakai helmnya, kacamata juga! Semua peralatan dan perlengkapan ada di sana!" Bila menunjukkan tempatnya.

Bila berlalu dan tak terlalu ambil pusing dengan kehadirannya. Dia memerintahnya sama seperti pada pekerja yang lain.

"Permisi!" panggil Reno.

Bila berbalik.

"Tangan gue kotor bisa tolong ikat!  Rambut!"

Hanya sebentar Reno bertahan ber-aku kamu.

"Maksud aku."

"Gak usah memaksakan diri. Gue atau aku gak masalah. Gak perlu diikat, besok kalau masih mau kerja pangkas rambut aja, jadi gak perlu minta bantuan orang buat ngiketin atau sebelum kerja ikat sendiri, jangan lupa pakai sarung tangan biar tangannya gak kotor!" tegas Bila.

Twist. Bila yang dikenalnya kemarin berubah 180 derajat. Tak ada kelembutan. Tapi Reno tak bisa beranjak pergi meninggalkan kesempatan ini. Tak ada makhluk lain di bumi yang bisa mendiktenya kecuali sang mami tercinta. Kini bertambah satu.

Kalian tentu bisa menebak siapa dia.

Reno mengikat rambutnya dengan tangan yang kotor. Seulas cat putih di rambutnya tampak seperti uban. Dengan kaku ia menggerakan kuas ke atas dan ke bawah.

"Belum pernah ngecat?" Bila mengoreksi cara kerja Reno.

"Pernah. Apa ada yang salah?"

"Ngecat apa?"

"Rumah barbie Maryam."

Bila tersenyum. Akhirnya ia menunjukkan senyumannya dan menunjukkan teknik mengecat yang benar.

"Jangan memegang kuasnya terlalu kuat....!"

"Ehem!" Reno mendeham. Atmosfernya tiba-tiba memanas. Ia menyesal mengikat rambutnya. Ia takut Bila akan melihat telinganya memerah saat ini.

"Oke got it."

Reno tak banyak bertanya. Ia kini menjauh dari Bila, meninggalkan sisa pekerjaannya yang belum tuntas menuju sisi lain tembok itu.

💗💗💗

TBC

😳😳😳























TasabilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang