Raka masih setia menunggu Reno yang kesulitan berjalan padahal tidak ada ransel atau beban lain di punggungnya. Kini mereka berdua sudah tertinggal jauh dari rekan satu timnya.
Benarkah ia ke sini hanya untuk mencari adiknya? Apakah Bila benar-benar sudah melupakan orang yang ada di belakangnya kini? Pertanyaan itu terbesit dalam pikiran Raka. Padahal jelas nyata yang dilihatnya, mereka masih saling memperhatikan dengan cara yang berbeda. Reno dengan hanya lirikan dan tatapan diam-diamnya dan menyangkal dengan berbagai dalih meskipun sudah tertangkap basah oleh Raka. Lain halnya dengan Bila, dia memilih meminta bantuan anak-anak desa setempat untuk memberikan roti atau apapun pada Reno untuk mengganjal perutnya sebelum benar-benar mendapatkan makanan dari warga yang sudah dipesan panitia untuk mereka. Rasa empati Bila memang sangat besar pada siapapun. Kasihan, satu kata yang ia ucapkan saat perhatiannya pada Reno tertangkap oleh mata jelinya Raka. Dia memang tak bisa menyembunyikan perasaannya dengan baik atau mungkin Raka yang lebih pandai membaca pikiran saudara sepupunya daripada kakak kandungnya sendiri. Kali ini Raka yang malah berpikir keras untuk menelisik lebih dalam perasaan mereka. Reno mungkin sedang terbelenggu dengan rasa gengsinya saat ini.
"Cepat...cepat! Gimana gue bisa ngasih saudara gue ke Elo, jaga diri Lo aja gak bisa. Lo masih sadar? Lo masih kenal gue?" Raka sedikit kesal karena Reno malah asyik duduk di batu besar menikmati pemadangan di sekitarnya. .
"Heh! Lo pikir gue mabok? Lo Raka dan saudara Lo yang gemesin tapi nyebelin karena udah berhasil bikin gue kayak orang bego itu namanya Sabila."
"Lo gak tahu apa-apa. Dengerin gue baik-baik! Mungkin Lo lebih kenal nama ini. Yang benar itu namanya Tasabila... sekali lagi Tasabila. Kenal gak tu Lo nama itu? "
"Bodo amat! Gue capek."
"Berdiri gak! Lo lebih-lebih dari anak kecil, ya. Cepat berdiri! Apa iya musti gue gendong?" Raka mendekat dan mengulurkan tangan untuk menariknya agar lekas berdiri.
"Serius? Lo beneran mau gendong gue?"
"Udah cepat ah!"
Tak lama kemudian seseorang berteriak memanggil nama Raka.
Abdul, pria berkulit sawo matang, berambut keriting itu memang bukan rekan satu timnya, ia teman SMA Bila yang juga mengenal Raka dan berada di tim ikhwan satu."Kenapa, Dul?"
"Si Bila u...dah kagak bi...sa dicegah," napas Abdul masih terengah-engah. Tangan yang semula Raka ulurkan pada Reno ia alihkan ke bahu Abdul sementara Reno terjerembab karena gagal meraih tangan Raka. Ia bahkan tak berdaya untuk marah, ia terkulai lemah di jalan.
"Tenang dulu! Ngomong yang bener!" Raka menepukan tangannya di bahu Abdul.
"Raka mendingan kita ke sana cepetan, gak ada waktu!"
Raka tak menunda lagi, Reno seolah tak terlihat di mata siapapun. Ia terus berlari mengikuti Abdul. Kali ini dia berulah apa lagi? Akbar, pamannya pernah berkata bahwa saudara perempuan yang dulu tomboy, petakilan dan hobi berantem itu kini sudah jinak. Sekarang apa?
Tiba di pertigaan ia menghentikan langkahnya, ia baru teringat pada Reno yang dengan teganya ditinggalkan sendirian. Ia tak bisa kembali lagi ke belakang. Kecemasan Abdul membuat ia ingin segera melihat keadaan Bila. Ia hanya mengambil ranting dan mengambar tanda panah di jalan sebelah kiri yang akan dilaluinya dengan menuliskan sesuatu.
KE ARAH SINI! SORRY!
💗💗💗
"Tasabila!!!"
Raka melihat saudaranya yang keras kepala itu sudah hampir berada di desa seberang dengan meniti jembatan gantung sepanjang kurang lebih dua ratus meter yang salah satu kawat besi gantungannya terputus. Dia hanya memijakkan kaki pada kawat besi yang masih kuat yang semula adalah tempat papan titian, dia berpegang pada kawat pembatas jembatan yang menyambungkan gantungan jembatan dan besi tempat titian. Beruntung dua penyangga di tengah jembatan tidak membuat jembatan miring terlalu curam. Hanya saja papan titian yang sudah banyak terlepas membuatnya terasa lebih mengerikan. Saat angin bertiup kencang dan titiannya bergoyang Bila berhenti dan ia melanjutkan langkahnya saat semua sudah stabil kembali. Entah terbuat dari apa kepalanya sampai ia berpikir untuk hal senekad ini?
"SUSUL AKU! ATAU AKU AKAN TETAP DI SINI!" Bila berteriak dan menghentikan langkahnya membiarkan dirinya tetap di jembatan untuk memancing Raka agar mengikutinya. Kalau tidak dengan cara ini ia pasti tidak akan mau mengambil resiko.
"KALAU DUA ORANG NANTI JEMBATANNYA GOYANG! KAMU HARUS KE SANA DULU!" Raka tak kehilangan akal.
Bila menurut, ia berhasil menyeberang dengan selamat. Gadis yang semula meminta pertolongan berlari ke arah Bila. Di seberangnya Reno masih belum tahu apa yang terjadi. Setelah mendapat penjelasan akhirnya ia menyadari kalau itu hanya untuk memancing dirinya agar ia mau mengikutinya. Rasanya ia ingin segera tiba di sana dan menoyor kepalanya sampai dia sadar yang dilakukannya itu sangat berbahaya. Syukurlah dia sudah sampai di sana dan ia tidak perlu melakukan adegan berbahaya itu.
Lama Bila amati namun Raka tak juga menyeberang. Ia kembali mendekati jembatan. Raka yang melihat itu hanya bisa berteriak 'JANGAN!' dan tidak punya pilihan lain selain menurutinya.
Bila tersenyum menatap Raka yang sudah sampai dengan selamat beserta ranselnya.
"USTADZ KEMBALI KE DESA TADI AJA, NITIP TEMAN SAYA DI JALAN TADI KETINGGALAN!" seru Raka seraya melambaikan tangan.
Rombonganpun kembali seperti yang ustadz Hanafi instruksikan juga.
"Siapa yang ketinggalan?" Bila penasaran.
Tak ada jawaban. Raka memilih mendekat pada sosok gadis di belakang Bila.
"Teman saya sakit, terima kasih dokter sudah rela datang ke sini...." ucapnya menahan tangis.
"Sebaiknya kita segera ke sana. Dan kamu! Kita harus bicarakan ini nanti!" Raka berbalik dan memelototi Bila yang hanya menganggukan kepalanya.
💗💗💗
"Demamnya disebabkan infeksi di kakinya, lukanya cukup dalam tapi sekarang sudah diobati. Tetap di kompres saja agar demamnya cepat turun dan do'akan agar dia bisa cepat pulih!" pesan Raka pada teman si pasien. Raka sudah melakukan tugasnya dengan baik.
Empat gadis yang mengaku mahasiswi itu terpaksa ditinggalkan empat teman lainnya untuk mencari pertolongan ke desa lain tapi belum juga kembali.
Si pasien dengan wajah pucat itu tak bisa mengalihkan pandangannya dari dokter yang kini sedang menjelaskan aturan minum obatnya.
"Makasih, Dok," lirihnya.
"Sama-sama, sudah menjadi kewajiban saya. Obatnya jangan lupa di minum, ya!"
Raka keluar dari rumah penduduk yang berbaik hati menampung para gadis petualang gagal itu. Ia melihat Bila sedang duduk di teras rumah lain sendirian.
"Kita bicara!"
"Besok aja aku ngantuk! Aku tadi udah beresin tempat kamu. Ini rumah kosong, kamu gak bakal takut kan?" godanya.
"Mau menghindar, hah?"
"Capek mau istirahat. Toh kalau sekarang mau marah sudah terlambat. Bukankah kepuasan karena telah menolong orang lain lebih berharga dan membahagiakan daripada mempermasalahkan bagaimana cara kita untuk sampai di sini, iya kan? Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam."
Bila masuk ke tempat para gadis tadi, ia memilih menginap di sana bersama mereka. mengobrol sebentar dengan pemilik rumah yang tak lain kepala desa setempat. Dua kamarnya kebetulan kosong karena putra-putrinya sudah ada yang bekerja di kota dan yang satunya masih kuliah. Saat rasa kantuk merajai otaknya ia pamit untuk beristirahat dan masuk kamar tidur yang sedang sakit, mereka sudah tertidur pulas. Bila duduk di samping pasien. Karena sibuknya Bila belum sempat berkenalan dengan mereka. Ia meraba kompresannya yang sudah menghangat, mencelupkan handuk kompresan ke air yang sudah tersedia pada baskom kecil dan mengompresnya kembali. Merasakan dingin di keningnya, pasien terbangun.
"Maaf, jadi kebangun!"
"Gak apa-apa, Kak."
Bila mengamati satu per satu wajah gadis-gadis di kamar itu. Tanpa sengaja ia mendengar saat Reno mengobrol dengan Raka tentang adiknya saat beristirahat di desa yang mereka lalui.
"Apa salah satu dari kalian ada yang bernama Maureen?" tanya Bila.
Sekalipun Reno tidak menyebutkan nama adiknya Bila mengetahui dengan baik nama ayah, mami, kakak perempuan dan adik perempuannya sejak ia masih jadi fan Moreno Kertajaya.
💗💗💗
KAMU SEDANG MEMBACA
Tasabila
General Fiction#2 saudara (17/11/2018) "Kuakui aku sudah sering pacaran! Aku sering mengajak mereka makan malam romantis di tempat-tempat mewah. Tapi seorang wanita ajaib telah membuat satu hal yang tidak kusukai menjadi hal yang kutunggu-tunggu. Aku ingin sarapan...