Part 7- A Secret

1.7K 264 37
                                    



"Permisi ..."

__

Gue bisa memastikan kalo sosok yang berdiri di deket pintu itu adalah Sana. Iya, bener dia. Pelan, gue melirik Yuta. Dia mengedikkan badan, mengerti arti tatapan yang gue layangkan ke dia.

"Duduk." Yuta memberikan kursinya pada Sana, sedang ia pindah tempat ke bagian kosong di kasur, dekat kaki gue.

"Sorry, gue ngikutin Yuta ke sini," ringisnya tak enak.

"Iya gak apa,"

Gue mengerling pada Yuta. Bibirnya sama sekali tak mengeluarkan sepatah kata lagi, selain kata 'duduk' barusan. Maniknya menatap datar pada Sana. Kayaknya dia sadar gue amati, sehingga menoleh kearah gue.

Suasana berubah canggung. Seharusnya sih walaupun udah jadi mantan, tetep ada lempar obrolan, bukan malah diem-dieman. Mulut gue juga, gak bawel seperti biasa. Yah jelas, gue kayak udah paham maksud kedatangan Sana kesini untuk apa.

"Kenapa lo gak bales chat gue, La?"

"Chat apa?"

"Bukan apa-apa."

"Apa-apa, bagi gue, La."

Seperti yang gue bilang sebelumnya. Skakmat! Gue harus balas apa? Mana gue belum menyiapkan jawaban eh, udah di samperin duluan. Yuta ikut-ikutan nanya, ditambah elakkan gue dibantah Sana. Seakan gue adalah mangsa yang siap diterkam kapan aja. Dua pasang mata memusat pada gue.

Hanya suara detak jarum jam yang memecah keheningan di ruangan ini. Gue masih bergeming.

Terkadang gue bingung sama diri sendiri. Apa susahnya jujur, bilang yang sebenarnya? Mereka putus gak sepenuhnya salah lo! Anggap aja Yuta emang udah bosen, gak cinta lagi. Kelar kan? Pengen gue melawan diri sendiri dan gak peduli sama perasaan orang lain. Gue gak perlu terperangkap diantara dua pilihan, jujur tapi menyakiti orang lain atau bohong tapi menyakiti diri sendiri.

"Kalo lo kayak gini, gue jadi percaya kalau informasi itu emang bener."

"E-eu—"

"Informasi apa?"

"Kalian berdua udah tunangan."

"Iya bener, San."

Pada akhirnya gue memilih untuk tidak mendholimi diri sendiri dengan cara tidak berbohong.

Semua terdiam. Sana terbelangah dan Yuta berhenti bertanya. Intens, mereka melempar tatapannya ke gue.

"Sorry," suara gue lirih, berusaha kuat dan tak pedulikan perasaan orang. Sejujurnya, itu jawaban meluncur gitu aja dari bibir tanpa perintah. Kayaknya diri udah lelah dengan konflik batin yang gue alami tapi gak ada aksi.

"Bukannya gue juga udah jawab ya sebelum kesini?"

"G-gue kira itu— cuman alibi lo b-biar gue berhen-ti ngejar lo." Suara Sana terputus-putus. Meskipun wajahnya beralih pada Yuta, tapi gerakan bola mata itu gak fokus di sana. Gue gak tahu apa yang terjadi antara Sana dan Yuta sebelum kesini. Sepertinya memang ada perbincangan sebelumnya, tentang status tunangan ini.

Sekon berikutnya sana tertunduk, memandangi tautan jemari yang saling meremas. Hening, gue bisa mendengar kuku-kuku Sana saling beradu. Sana seolah sibuk dengan batin dan pikirannya sendiri. Gue gak tahu harus apa, takut salah kalo gue buka mulut.

Gue beralih melirik dan memelas pada Yuta. Ternyata dia juga lagi melihat kearah gue. Lewat bahasa isyarat, gue meminta Yuta buat ngomong sesuatu ke Sana. Belum selesai menyampaikan, dia malah melengos dan mengabaikan.

WHISPER - {Nakamoto Yuta}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang