"Udah lah, nangisnya. Acara udah kelar sejam yang lalu. Masih nangis aja."
"Lo tuh gak ngerasain Yut. Selama ini gue terlalu banyak mendem soal perjodohan yang sering Oma lakukan. Sampai-sampai lo gue jadiin korban keegoisan gue sendiri, pelarian gue. Kalo inget waktu itu, pasti muncul rasa takut, cemas, gelisah."
"Kan akhirnya juga gue sama lo."
"Untungnya. Tapi, sebelum itu tanpa lo tahu gue kepikiran sama nasib gue sendiri. Gak bisa nangis juga kalo lagi meratapi. Jadi, keluarnya ya sekarang. Makanya gak usah dikomenin." Sambil sesenggukan gue masih nangis di depan Yuta. Seharusnya gue cuman tugas nganter dia sampai depan pagar aja setelah acara selesai. Eh, tangis gue pecah. Akhirnya, Yuta ngajak gue duduk di bangku taman depan rumah. Nangis sampe sekarang.
"Iya iya udah, cup~~" Yuta mengelus kepala gue lembut, tapi bibirnya berkedut seolah nahan ketawa.
"Ketawa aja, gak usah ditahan. Ntar ambeien."
Seketika tawa Yuta pecah. Gue gak peduli, masih sesenggukan tanpa isakan. Terserah dia dah.
"Habis lucu kalo nangis gini. Kayak dibanjur air muka lo, udah mata gede gede kayak kodok."
"Gak papa, hina aja selagi bisa." Sahut gue tanpa menatapnya.
"Unnhh, ngambek." Yuta memeluk bahu gue dan mengeratkannya gemas.
"Gue makin gak bisa napas, lepasin lah!"
"Marah ini?"
"Udah sana pulang. Gue udah mendingan."
"Gue pastiin dulu, lo gak marah kan sama gue?"
"Nggakk."
"Yaudah gue balik ya. Bye."
"Yut," Gue kembali memanggilnya ketika dia hampir keluar pagar.
"Apa?" tolehnya,
"Makasih ya, udah bantuin selama ini."
Yuta tersenyum, "Gue perlu kesitu gak?"
"Ngapain?"
"Barangkali mau dipeluk."
"Gak, gak usah. Kan udah tadi."
Yuta gak peduli, dia berjalan kembali menghampiri lalu membawa gue ke pelukannya. Hangat.
"Beda. Tadi itu gak serius meluknya."
"Dih,"
"Gak usah gengsi. Bilang aja kalo suka."
Yuta kenapa? Jadi beda gini.
"Gak usah heran sama sikap gue. Gue lagi seneng aja, bisa yakinin Oma." Katanya, seakan bisa membaca pikiran gue dan menjawabnya. Gue balas memeluk.
"Makasih juga udah yakinin Oma, orangtua dan saudara-saudara gue."
"Bukannya itu yang harus dilakukan oleh laki-laki yang ingin menyeriusi?"
"Iya iya iya percaya. Hari ulang tahun gue sebentar lagi. Buktiin."
"Yeh, nantangin. Gak sabar ya mau gue nikahi?"
Cuitt~~~
"Argh!" Pekiknya saat gue mencubit pinggangnya keras-keras. Refleks aja kalo dia sudah mulai menyebalkan.
Melihatnya kesakitan, gue balas cekikikan. Dibilang, dia itu beda. Padahal beberapa jam lalu, gak gini-gini amat sikapnya. Emang ya, perasaan senang itu bisa merubah sikap orang sebegini drastisnya.
___
Hari ini gue ditemani Kak Airin dan Kak Joy buat fitting baju pengantin, pesan cincin dan kartu undangan. Sedang Yuta sama Kak Johnny, akan bertemu dengan beberapa pengurus WO. Kak Ten gak ikut, sibuk.
"Yang mau nikah siapa, yang sibuk siapa."
Gue melirik si sosok yang tengah menyindir. Siapa kalo bukan Kak Joy.
"Jadi Kakak tuh yang berguna dikit gitu loh. Kayak Kak Airin dong, bantu dengan setulus hati tanpa komentar." Jawab gue, lalu lanjut chatingan sambil selonjoran di sofa. Kak Joy memutar malas matanya.
Capek, nyari cincin dari pagi sampe muter-muter baru dapet sore. Habis itu pilih kartu undangan. Gue pasrahin aja ke mereka.
"Oh iya souvenir.."
"Itu tugas Yuta. Katanya mau dipesenin dari Jepang." sahut gue.
"Undangannya ini sreg nggak?" Tanya Kak Airin.
"Sreg aja sih."
"Keramaian tapi, bentar-bentar.." Kak Airin mencoba cari desain lainnya. Gue cuman hela napas liatnya.
Kak Joy, lagi buat janji untuk ketemu desainer yang akan mengurus baju pengantin gue dan Yuta. Katanya sih temennya. Biar dapat diskonan harga juga.
Kan, ngapain gue ribet kalo dengan adanya mereka aja udah bisa diatasi apa aja kebutuhan gue buat nikahan nanti.
"Ini, simpel. Warna juga pas dengan tema di pernikahan."
"Key. Itu aja deh. Biar cepetan."
"Ya ampun, kamu niat nikah gak sih?"
Wah, Kak Airin mulai kesal."Kakakku sayang, aku itu gak begitu pandai mengurus soal beginian. Selama aku suka, pasti aku iyain. Tapi ini pernikahanku. Aku ingin semuanya bagus, sempurna. Makanya, kupercayakan pada kalian. Kalo kutangani sendiri, tau kan..."
"Iya iya bener. Mending kita aja udah, Kak. Daripada ancur kalo dia yang handle sendiri. Malu sama tamu undangan."
Kompor emang Kak Joy. Meski dia dukung gue sih, tapi tetep aja ada kalimat yang ngejatuhin.
"Iya juga. Yaudah deh kita handle semua aja."
Fyi aja, yang bikin lama cari cincin juga mereka. Guenya mah manut, mereka yang ribet perkara model kurang feminin lah buat gue, yang terlalu mencolok, terlalu kecil, terlalu simpel. Alah, gak ngerti. Perfect banget mereka soal begituan. Kadang gue merasa bener-bener adik kandung mereka atau bukan. Saking bedanya.
___
Hallo haii~~~
Wah gak nyangka yang baca cerita ini naik drastis dari terakhir lihat jumlah readers 👏
Makasih semua yang udah mau baca, vote dan komen #terharu
Selamat datang juga buat para readers baru, Hai~~ 😃Oiya!!! Berhubung aku lagi seneng banget 1st COVER YUTA keluar dan sangat sangat sangat mengejutkanku.. Aku jadi bersemangat bikin chapt ini :)
Semoga kalian suka yaa..
See youu!!
KAMU SEDANG MEMBACA
WHISPER - {Nakamoto Yuta}
RomanceNggak ada perasaan cinta, Tapi gue maksa dia buat jadi calon suami. @03-08-2018