Aku menangis di depan dua pertugas yang baru saja naik untuk membawa jasad Floren dan di depan Ibunya yang meminta maaf berkali-kali.
Pertanyaan segera menggantung dibenakku. Apa yang terjadi? Bagaimana bisa? Tapi tak ada jawaban dalam kepalaku. Aku hanya melihatnya, berinteraksi dengannya, dan ... dia menolongku--menyelamatkanku.
Setengahnya jam kemudian, dua petugas itu pergi membawa jasad Floren dan meninggalkan rumah tetanggaku dengan garis kuning polisi.
Sementars itu, wanita paruh baya yang sepertinya Ibunya Floren bertamu ke rumahku.
Papa yang tidak mengerti situasinya hanya bisa duduk terdiam. Sementara itu dia juga diam, aku pun diam berkutat dengan pikiran sendiri.
"Kamu ... pernah berbincang dengannya?" Dia bertanya padaku.
Aku mengangguk. "Bagaimana bisa ini terjadi?"
"Itu rumah mantan suamiku dan dia itu gila." Dia menghela napas panjang seraya menahan air matanya yang nyaris turun lagi. "Floren marah padaku karena aku melarangnya melukis, dan pergi kepadanya."
Bibirnya bergetar, suaranya parau.
"Seandainya aku tidak sebodoh itu, pasti Floren tidak akan ke sana dan dibunuh bajingan gila itu."
"Darimana Ibu tahu--" Suaraku menghilang sebelum kalimatku selesai.
"Para polisi menangkapnya, sebagai orang gila yang membunuh beberapa orang karena dendam dan karena dia mencoba membunuhku--satu minggu lalu."
Ibu Floren menghapus air matanya. "Maafkan aku. Aku seharusnya tidak melakukan ini di rumah orang asing. Tapi aku terlanjur kesal karena dia menjadikan Floren korban pertamanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Dia Pergi
Short Story15+ Aku sering kali menatapnya dikala senggang dari kaca jendela kamarku. Dia adalah seorang gadis dengan senyum manis yang tinggal tepat di sebelah rumahku. Kami sering bertukar sapa, saling bercakap, menjalin hubungan pertemanan dengan baik di a...