Momen -9-

387 50 2
                                    

Aku melempar tas kesembarang arah. Menghempaskan tubuhku diatas kasur dengan kasar. Menarik napas dalam-dalam.

Kepalaku kacau sekali. Suara pertengkaran mereka benar-benar mengangguku. Belum lagi orang-orang sirik yang tadi mengerjaiku dengan merobek buku di laci mejaku dengan serampangan.

Aku bukannya tidak bisa membelinya lagi, hanya saja kehilangan coret-coretan pemikiranku dalan buku itu benar-benar mengesalkan.

Rasanya seperti ada kerusuhan massal yang tidak akan berhenti sulit dikendalikan dan akan meletus kembali sewaktu-waktu.

Begitulah isi kepalaku.

Aku melirik tanganku yang masih diperban. Masih ada luka di sana. Aku tidak bisa menambahnya untuk menenangkan diri.

Napasku tersenggal. Rasanya ingin mati saja, dengar teriakan mereka tidak berhenti padahal ini masih pukul 7 malam, waktu makan malam.

Begitu pentingnya ego mereka daripada buah hati sendiri? Ahahaha. Tidak ya? Aku bukan buah hati mereka, aku beban mereka yang selalu mereja oper. Dasar manusia gila kerja--ah bahkan mereka lebih pantas disebut robot.

Aku mengacak rambut. Mengambil napas dalam-dalam untuk mengisi paru-paruku yang tiba-tiba menolak diisi udara. Ayolah aku harus tetap hidup 'kan? Kalau tidak ya jangan buat diriku susah, berhenti saja sekalian.

Aku mengacak lemari, mengambil satu tabung obat yang diberikan dokter minggu lalu. Mengeluarkan satu butir tablet berwarna putih dan menelannya bulat-bulat dengan seteguk air dari botol minuman sekolah yang masih bersisa.

Dengan sempoyongan aku meraih kursi. Menyandarkan tubuhku pada penyangga berkaki empat itu agar tidak ambruk ke tanah. Obat ini cukup menenangkan, tapi efeknya tidak secepat sensasi lega saat goresan darah tampak keluar dari jaringan kulit yang robek.

Di tengah kondisiku yang menyedihkan ini. Dia di saja berdiri menatapku dengan panik. Aku bahkan tidak tahu sejak kapan jendelaku terbuka lebar.

Ketika mata kami bertemu, dia dengan cepat menulis diatas kertas catatannya.

"Kamu baik-baik saja, Rel?"

Astaga dia memenggal namaku seperti nama perempuan tahu. Andai saja kondisiku lebih baik tidk bertengkar dengan paru-paru yang menolak diisi udara, aku pasti akan mengomeli gadis manis itu..

Aku mengangguk lemah.

Selang sepuluh menit, dia hanya menatapku intens. Seolah mencoba mentransfer kekuatannya lewat kedua iris cokelat itu.

Napasku membaik. Sepertinya gelombang letusan emosi yang muncul tiba-tiba itu mereda.

Aku menampilkan senyum terbaikku. Memalukan sekali sih diriku.

"Kamu sudah baikan?"

Aku mengangguk lagi.

"Sungguh?"

"Iya," ucapku lirih.


Setelah Dia PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang