Kududuk di tempat tidur, melihat keluar jendela. Bintang-bintang masih sedikit nampak. Indah, dengan cahaya matahari yang mulai mewarnai pagi.
Kusentuh kaca jendela dengan jemari tangan kananku, merasakan perasaan berkecamuk di hatiku. “Hai matahari, bagaimana kabarmu?” ucapku gemetar, dengan air mataku yang tiba-tiba metenes. Apa mungkin aku memang akan dipenjara?
Air mataku terus menetes, membuatku sontak menyeka air mataku. Sudahlah, lagi pula ini salahku. Tetapi, kalau Sasha dan Daisy memang punya bukti seperti yang mereka bilang, berarti mungkin ini hari terakhirku ada di sini. Dan Bi Lia, dia pasti kecewa.
‘Kenapa ...?’
Dadaku semakin terasa sesak, aku harus bagaimana?
“Cassie.”
Mendengarnya aku sontak menyeka air mataku, dan lalu tersenyum melihatnya. “Cherry,” ucapku. “Aku gak apa-apa,” sahutku, membuat Cherry melihatku ragu. “Kamu bohong.”
Ku gelengkan kepalaku, tersenyum dengan air mataku yang kembali menetes. “Cassie,” ujar Cherry pelan sambil memelukku erat. “Aku takut,” ucapku gemetar.
“Gak apa-apa Cassie, semua akan baik-baik saja.”
Kubalas memeluk Cherry. “Bagaimana bisa? Kenapa kamu yakin kalau semua akan baik-baik saja?” tanyaku, dengan Cherry yang melepaskan pelukkannya, kemudian melihatku lekat. “Percaya padaku,” ucapnya. Mendengar Cherry aku hanya bisa diam. Dia kembali tersenyum, lalu menyeka air mataku.
Kuhela nafasku pelan. Apa semuanya memang akan baik, dan apa tidak masalah jika seperti ini? Maksudku, aku adalah pembunuh. Seharusnya aku menerima hukuman, dan bukannya ....
‘Apa yang kulakukan benar?’
Tak lama ponsel Cherry yang berada di meja belajar berbunyi. Mendengarnya Cherry pun langsung mendengus kesal. “Siapa?” tanyaku. Cherry menggeleng. “Gak penting,” sahutnya.
“Dari selesai mandi aku sudah lihat kamu mainkan ponsel, kamu chattan sama siapa?” tanyaku, dengan Cherry yang sontak menghela nafasnya berat. “Gak ada gunanya balas chat dia lagi,” ucap Cherry.
Cherry menghembuskan nafasnya pelan. “Ya sudah, kita ke bawah saja. Sudah hampir setengah 7,” ujar Cherry, membuatku mengangguk pelan.
Kukenakan tas ransel dan sepatuku bersamaan dengan Cherry. Cherry membuka pintu kamar, tersenyum melihatku. “Aku punya sedikit rencana. Ini mungkin agak buruk, tapi lebih baik dari pada tidak sama sekali,” ujar Cherry. Cherry menundukkan kepalanya, berjalan keluar kamar. “Dan ya maafkan aku, kalau misal nanti kamu harus ngerasain sakit sebentar.”
Aku hanya bisa diam mendengar Cherry, berjalan mengekor sambil terus memikirkan ucapannya. Sungguh, aku tidak mengerti. Rencana apa yang dia maksud, dan kenapa dia bilang begitu?
‘Cherry.’
***
"Sampai nanti, Bi," ucapku tersenyum tipis. "Sampai nanti," ucap Bi Lia sambil tersenyum. Bi Lia menutup kaca mobilnya, dan lalu dia pun pergi meninggalkanku dan Cherry. “Ayo,” ajak Cherry. Kuhela nafasku pelan, kemudian mengangguk. “Iya.”
Kuberjalan masuk ke dalam sekolah bersama Cherry di samping kananku. Jantungku berdetak semakin kecang, tanganku pun perlahan mulai dingin. Aku takut.
Kuhela nafasku berat.
“Kenapa?”
Kugelengkan kepalaku. “Gak, aku cuma ... Ya ....” Cherry menghela nafasnya pelan. “Gak apa-apa Cassie, tenang saja.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Saudara Kembarku [END]
Horror[Belum revisi] Culun, ya begitulah teman-temaku menyebutku. Aku tidak pernah dianggap ada, atau mungkin aku juga hanya dianggap sampah oleh mereka. Sampah ... Ya, aku rasa itu cukup bagus untuk orang sepertiku. Di dalam hatiku, aku selalu berharap...