9. Angel

36 7 10
                                    

"Abdi, terima kasih banyak atas malam ini."

"Um, i iya.. . tidak masalah" ,

"Apa setelah dari sini, kamu langsung pulang?"

Hening, tidak ada jawaban. Percakapan itu terjadi di depan pintu suatu ruangan. Di sebuah koridor panjang,  yang mana, ada beberapa daun pintu yang melekat pada dinding salah satu koridor tersebut.

"Begitulah." Suara tersebut terhenti sesaat. 'Terima kasih"

Lawan bicara sosok itu terdiam. Senyum yang terulas sejak tadi hingga kini belum menghilang. Nampaknya suasana hati sosok itu dalam kondisi yang baik. Dia merasakan desiran aneh namun menyenangkan sedang mengalir lembut di setiap denyut nadinya.

Nampak sosok itu mengerjab. "Terima kasih? Untuk apa? Setahuku tidak ada satu tindakan pun dariku yang pantas diberikan terima kasih."

Kalkulatif, itu yang terasa saat kalimat itu terucap. Itu wajar bila diucapkan oleh seseorang yang memiliki riwayat akademis yang bagus. Setidaknya begitu.

Percakapan itu melibatkan dua sosok, seorang pria, dan seorang gadis. Tampak sang gadis berdiri diantara dinding yang berada di sebelah pintu, dan seorang pria yang berada didepanya. Mereka saling berhadapan. Sesekali, gadis itu menyandarkan punggungnya ke dinding dibelakangnya. Sebelah kakinya terkadang dimainkan, berayun ke depan, dan belakang secara bergantian.

"Entahlah, menonton performa ku di taman, mungkin.." ujar pria itu tidak terlalu yakin. "Atau untuk menemaniku berkegiatan seharian ini."

Menemanimu seumur hidup, aku juga bersedia.

"Bukankah itu wajar." kerlingan nakal tiba-tiba terbit disudut mata gadis itu. "Bukankah aku ini wali kelasmu. Jadi, wajar bukan. Kalau, aku memantau apa saja yang dikerjakan anak didiku, diluar sekolah. Terutama, buat seorang murid dengan absensi alpha yang sudah mengkhawatirkan, seperti dirimu itu, Abdi."

"Betul juga." ucap Abdi seraya mengangguk-anggukan kepala. "Hanya saja, aku berharap, semoga besok tidak ada sebuah artikel di koran sekolah, atau di media sosial yang menyatakan, bahwa seorang wali kelas memaksa seorang muridnya untuk berkencan. Sedangkan murid tersebut masih dibawah umur. Lalu, disitu juga terpampang fotomu yang sedang menggamit lenganku."

Gadis itu tertawa geli, mendengar ucapan Abdi. Sebenarnya, bagi gadis itu, ajakan Abdi hari ini memberinya sebuah pengalaman baru. Tentang bagaimana suasana taman jadi lebih hidup, karena kedatangan Abdi, dan Sora. Bagaimana usaha keras mereka untuk menyenangkan para pengunjung, dan berusaha membaur dengan mereka. Apalagi, saat Savitri, dan Saravi ikut bergabung, tampak Abdi, dan Sora dapat mengimbangi. Padahal, mereka baru saja bermain bersama saat di kedai, yang itu berarti, baru beberapa jam yang lalu. Dan yang penting adalah wajah puas para pengunjung. That was goal and great job.

Tiba-tiba, gadis itu menegakan punggung, melepaskan diri yang sejak tadi bersandar di dinding. "Sepertinya aku mau masuk duluan." ujar gadis itu kepada Abdi.

Abdi mengangguk, kemudian mencondongkan wajahnya ke telinga gadis itu. "Selamat malam Tasya, selamat tidur, semoga mimpi indah." bisiknya, kemudian menarik kepalanya ke posisi semula.

"Selamat malam juga. Kamu hati-hati di jalan, ya."

"Iya."

Abdi kemudian memutar tubuhnya, dan melangkahkan kaki, meninggalkan Tasya. Sedang Tasya, gadis itu masih bergeming. Kakinya masih belum bergeser barang seinci pun dari tempat berdirinya saat ini. Pandanganya masih terkunci pada satu target, punggung Abdi. Dipandanginya punggung dengan tas gitar yang tergantung disana. Menjauh, selangkah demi selangkah. Tidak berselang lama, punggung itu pun menghilang di balik koridor.

Fana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang