Langkah demi langkah membuatnya mendekat kearah tempat yang dia tuju. Apapun yang terjadi, niat yang ingin dia lakukan harus terlaksana. Tidak ada satu hal pun yang boleh membuatnya gagal. Apapun akan dia singkirkan, dengan segala cara. Saat seringaian itu muncul, saat itu dia tahu sakit hatinya akan berbalas. Ya, dia akan pastikan itu terjadi.
Perlahan, tangga aluminium dia turunkan dari bahunya. Sejak tadi benda itu terpanggul disana. Masih dengan seringai jahat yang dia cetak, kaki-kaki tangga direnggangkan. Lalu, dengan posisi vertikal, tangga itu dapat dia dirikan.
Dengan mengubah seringai dengan siulan, kepalanya menengadah. Memastikan tangga itu tepat dibawahnya, sesuatu yang menjadi target tujuanya.
Apapun yang akan dia lakukan terhenti, saat dia rasakan sakunya digetarkan oleh sesuatu. Tanpa menunggu lebih lama, dengan tangan dia ambil benda itu.
Dari dalam sana, sebuah ponsel pintar dia keluarkan. Segera saja benda itu dia tempelkan ditelinga dengan melihat nama yang tertera.
Tirant!
***
Disebuah ruangan di dalam gedung opera, Abdi bersama ketiga gadis itu berada di sana. Disebuah sofa empuk, dan panjang, Abdi duduk dengan diapit dua gadis. Savitri, dan Saravi. Tak lupa keduanya mengait lengan atasnya, erat.
Diam saja, pasrah, dan tanpa sebuah perlawanan, Abdi menerima saja perlakuan mereka. Percuma, helaan napas berat juga tidak akan mengubah keadaan, walaupun untuk lebih baik, sedikit saja.
Jadi, lupakan!
Savira, berada di depan mereka. Dengan segala aktivitasnya dalam ruangan ini, menjadi pemandangan yang hadir di hadapan mereka bertiga.
"Kak..?"
"Hmmm."
"Bolehkah...aku...bertanya sesuatu?"
"Tentu saja boleh. Memangnya apa yang ingin kamu tanyakan?"
Tidak langsung bertanya, Savitri diam sejenak. Diperhatikan Savira, dan punggungnya. Saat ini, itu pemandangan yang tergambar didepanya.
"Apa..kakak..biasa..mengerjakan semuanya sendirian seperti ini?"Savira, saat ini dia sedang duduk menghadap cermin berbingkai puluhan lampu bohlam. Aktivitas yang sedang dia lakukan dihentikan sementara. Lewat pantulan dari cermin, Savira memandang Savitri dari sana, dan sebuah pahatan senyum manis, dia perlihatkan.
"Yah, seperti yang kau lihat sendiri, sebagian besar persiapan aku lakukan sendiri. Bukankah kamu juga melakukan yang mirip denganku?"Ini sudah yang kesekian kali Abdi melihat interaksi keduanya. Mereka sepertinya sangat cepat menjadi akrap. Siapa kira mereka baru saja bertemu kemarin, atau mereka pernah bertemu sebelum ini. Ah, entahlah.
"Itu..berbeda..kak. Mana..bisa..penari amatir sepertiku, kakak bandingkan dengan artis besar seperti kakak. Aku..melakukan..semuanya sendiri itu, lebih karena aku belum mampu..membayar..seorang..make..up..artis, kak."
Savira dengan kegiatan merias wajah dia lanjutkan kembali.
"Kamu ini bicara apa. Sebenarnya apa perbedaan antara amatir, dan yang tidak. Tidak ada bedanya, bukan. Semua sama saja. Aku menjadi seperti yang kau sebut artis besar itu, bukan aku sebabnya. Mereka, para fans itu yang setuju, dan memilih menjadi pendukungku. Oleh karena itu, sebisa mungkin aku menampilkan diriku secara original, termasuk riasan yang mencerminkan pribadiku. Itu benar, bukan."Dengan pandangan yang beralih ke bawah.
"Kakak..terlalu..merendah..seperti..biasa. Dilihat dari posisiku saat ini, keberadaan kakak sangat jauh tak terjangkau..di..atas..sana."
Dengan pandangan menerawang seorang Savitri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fana
FantasyAkulah Sang Pencipta Aku juga mengasihi dan menyayangi ciptaanku , tapi jangan lupa bahwa "itu" juga asma-Ku. Abdi, seorang pemuda biasa saja di sekolahnya berteman dengan Tiara salah satu gadis yang tidak hanya cantik tapi juga pintar. Walaupun Ab...