12. Dia atau Dia

35 5 21
                                    

"Kau yakin akan disini sendirian?" Terdengar suara seseorang khawatir.

Lawan bicara itu mengangguk.
"Ayolah Abdi, jangan pasang tampang masam seperti itu." Setelah memandang Abdi, kini beralih memandang wajah terpejam seorang wanita diatas brangkar dengan sendu.
"Aku baik-baik saja, percayalah." Ucapnya lirih sambil terus menatap dalam wanita itu.
"Aku akan menjaga Bu Kirana." kembali dia menatap Abdi dengan wajah memohon.

"Tapi Sora, kondisimu.." ucapan Abdi menggantung.

"Kumohon." potong Sora, alasan yang membuat Abdi tidak meneruskan ucapanya, tadi.

"Baiklah kalau itu maumu." Abdi menghembuskan napas berat.
"Kalau Bu Kirana tersadar, minumkan air yang telah kuberi doa itu." Tunjuk Abdi kesuatu tempat.

Arah yang ditunjuk itu terdapat air putih dalam gelas kertas, berada diatas meja kecil disebelah brangkar tempat Bu Kirana terbaring.

Sora mengangguk. Dia percaya dengan khasiat air doa dari karibnya itu. Karena dia telah menyaksikanya dengan mata kepalanya sendiri. Saat itu di taman ada orang kerasukan yang entah apa penyebabnya. Dan air doa dari Abdi itu yang membuat orang itu tersadar.

Abdi menepuk bahu karibnya itu, sebelum melangkah pergi meninggalkan Sora.

"Ucapkan terima kasihku kepada gadismu." Kata Sora dengan suara sedikit kuat.

Abdi melambaikan tangan sembari terus berjalan maju selangkah demi selangkah.

Pintu itu ditutup setelah Abdi telah berada diluar ruangan.

Itu adalah ruang kesehatan khusus pengajar di sekolah ini. Sebenarnya, tidak ada perbedaan yang berarti antara ruang kesehatan pengajar dan ruang kesehatan murid. Hanya saja bangsal murid lebih banyak dibanding bangsal untuk pengajar. Fasilitas pertolongan pertamanya cukup bagus dengan seorang dokter yang selalu berjaga disana.

Tadi, setelah Saravi berhasil membuat Bu Kirana pingsan dengan lantunan nada yang gadis itu mainkan dengan flute-nya saat Bu Kirana kerasukan dan mengamuk tidak terkendali, Saravi berniat ke ruang kesehatan guna mencari bantuan. Namun sayang niat baik itu harus batal. Penyebabnya tentu saja karena kebiasaan gadis itu yang mudah tersesat. Oh, ingatkan Saravi yang beberapa saat lalu yang telah menangis sesenggukan sembari memeluk lutut karena tersesat.

Melihat keadaan ini, Sora bangkit dengan susah payah, menawarkan diri, lalu berjalan tertatih meninggalkan tempat kejadian menuju ruang kesehatan guna mencari bantuan.

Sebenarnya Saravi sudah menawarkan diri guna membantu berjalan, namun ditolak oleh Sora. Pria itu berpendapat bahwa Saravi dan Abdi dapat melakukan sesuatu jika Bu Kirana kembali tidak terkendali. Hal ini akan jauh lebih sulit jika hanya ada Abdi seorang diri.

Beberapa saat kemudian, petugas kesehatan datang menghampiri lalu membawa tubuh pingsan Bu Kirana dengan brangkar. Sedangkan Sora, dia tidak kembali. Sepertinya pria itu tengah mendapat perawatan di ruang kesehatan.

Setelah menutup pintu ruang kesehatan, Abdi berjalan mendekati seorang gadis yang berdiri dan sedang menyandarkan punggungnya ke dinding dibelakangnya. Gadis itu menoleh kearah Abdi, menatapnya dan tersenyum.
"Bagaimana keadaan mereka berdua?"

Abdi melangkah semakin dekat, membalas tatapan dan senyuman itu dengan hal yang serupa.
"Kata dokter, mereka akan baik-baik saja.

" Abdi berdiri disamping Saravi. Kemudian menyandarkan punggung ke dinding, sama seperti yang Saravi lakukan.

" Kondisi Bu Kirana berangsur-angsur stabil." Pandangan Abdi menatap kosong ke depan.
"Sedangkan Sora, tubuhnya masih merasa sakit. Namun kata dokter tidak ada cidera yang serius. Kemungkinan sebentar lagi pasti akan pulih."

Fana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang