5. Duet

55 12 2
                                    

"....mata itu."

"....kenapa begitu."

"....begitu kesepian."

"....indah dan sepi."

"....sunyi."

######

Manik mata itu bergerak ke kiri dan ke kanan. Pandanganya mengunci obyek yang ada dihadapanya. Memandangnya dengan sangat lekat, seolah tidak ingin melepasnya. Bagaikan tatapan seekor harimau yang tidak sudi melepas mangsanya begitu saja.

Sekitar satu jam mata itu melihat dan memperhatikan, memindai setiap gerak-gerik sosok yang sekarang berada satu ruangan denganya.

Kontras dengan pemandangan atas sosok yang sedang bergerak lincah, sang pemilik mata tersebut justru sebaliknya. Dia memilih diam dan tidak bergeming. Kepalanya diletakan di atas meja. Alisnya sesekali ditautkan. Tidak hanya itu, suara dengusan nafas gusar sesekali terdengar di telinga.

"Masih lama?" akhirnya sang pemilik tatapan itu unjuk suara, memecah kesunyian panjang yang melanda. Suara seorang pria.

Sesaat sosok yang diajak bicara itu tidak menjawab. Dia masih asyik, tenggelam dalam kegiatan yang sedang dilakukan saat ini.

Merasa tidak mendapatkan respon yang sesuai harapan, pria itu kembali mendengus kesal. Kini kepala itu tidak lagi diatas meja. Pria itu mengangkat kepalanya. Kepala itu sekarang ditopang dengan tangan kiri.

Pandangan yang sedaritadi memperhatikan sosok didepanya, kini berganti posisi. Dengan topangan yang berada di sisi sebelah kiri, tentu saja yang terlihat adalah bagian kanan. Dia sudah tidak memandang sosok yang bergerak kian kemari, laksana ular naga panjangnya.

"Sepertinya aku akan mati bosan." suara gumaman itu sepertinya sengaja diperbesar. "Terus terang saja aku tidak mengerti, kenapa kalau perawan bersiap selalu lama sekali." tentu saja ada nada bersungut-sungut terkandung didalamnya."

Menyadari bahwa ucapan itu tertuju padanya, perawan atau sebut saja gadis, bukan nama sebenarnya itu terdiam sejenak. Kepalanya menoleh, pandanganya tertuju kearah pemilik suara itu. Sebelum gadis itu kembali dalam aktifitasnya.

"Diamlah." jeda sesaat. "Diam dan duduklah dengan manis. Aku segera selesai." terdengar gadis itu berusaha menenangkan pria tersebut. Namun dengan pernyataan seketus itu tentu saja suasana semakin memburuk alih-alih menenangkan. Sungguh manajemen konflik gadis ini buruk sekali.

Terlihat gadis itu sudah hampir selesai bersiap-siap. Dia mengambil piring beserta sendoknya. Lalu tindakanya kemudian adalah mengisi piring itu dengan makanan. Tentu saja makanan itu telah dipersiapkan sebelumnya.

Setelah dirasa porsi dipiringnya sudah cukup, gadis itu mulai berjalan menuju ke meja. Dengan riang, tentu saja. Seperti tidak ada masalah yang terjadi.

Gadis itu duduk bersama pria tersebut. Mereka berhadapan.

Sejenak mata gadis itu memejam. Sepertinya dia sedang memanjatkan doa. Doa sebelum makan, tentu saja. Matanya kembali terbuka tatkala doa itu berakhir.

Hap, satu suapan berhasil meluncur dari sendok masuk dan meluncur ke dalam mulut gadis itu.

Pria dihadapanya kini bertopang dagu. Dia mengamati makanan dipiring dan wajah gadis itu bergantian.

Merasa diperhatikan, gadis itu melirik kearah pria dihadapanya. Sesaat pandangan mereka saling menumbuk. Tidak, bukan sesaat. Mereka berdua saling mengunci pandang satu sama lain. Tidak ada salah satu dari mereka memutus kontak itu.

Suasana menjadi hening. Lewat kontak tersebut, mereka membiarkan mata mereka saling bicara. Saling menikmati keindahan indra penglihatan satu sama lain. Salah satu panca indra yang konon katanya merupakan cermin dari hati. Dan sepertinya mereka sedang menyelami dasar samudra dalam hati mereka satu sama lain.

Fana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang