13. Battle

43 7 9
                                    

"Kenapa Saravi. Keadaanmu sedang tidak baik, ya."

"Sok tahu! Daripada kau bicara yang tidak-tidak, akan lebih baik kau mempersiapkan diri, dan konsentrasi, Berlin."

Saravi melemparkan senyum kearah Berlin, begitupun sebaliknya. Tatapan mereka saling beradu, bertukar pandang sembari membaca hati mereka satu dengan yang lain. Walaupun pertemuan mereka sangat terbatas, yaitu saat mereka berdua sedang berada di sasana, tapi mereka sudah merasa cocok satu dengan yang lain. Entah sejak kapan mereka mulai saling memahami satu dengan yang lain. Berlin tertawa kecil. 

"Ayolah Saravi, aku tahu suasana hatimu sedang tidak baik."

"Oh, ya. Begitukah?" Saravi terdiam sesaat untuk mengambil jeda.
"Jangan bilang padaku, kalau, dirimu juga punya bakat menjadi cenayang."

Tidak sanggup menahan rasa geli, tawa Berlin seketika pecah. Tidak lama hingga tawa itu mereda, Berlin berhenti karena sekarang gadis itu sedang melakukan sesuatu, dimana, tertawa berlebih yang bisa membuatnya gagal fokus.

Saat Berlin sedang berusaha menghentikan tawanya, dia berujar.
"Kau tahu, tidak perlu ilmu meramal untuk membacamu. Semua telah terpampang jelas didahimu."

Saravi tertegun sesaat. Semudah itukah dirinya terbaca. Hingga sebuah senyum terbit dari bibir ranum itu.
"Ok, kau menang. Kau dapat apa yang kau mau. Memang sekarang ini aku sedang tidak enak hati, puas." Seru Saravi,.

Ya, itu benar. Memang suasana hati gadis itu sedang tidak baik. Uuuh, kesal rasanya jika mengingatnya. Semua itu gara-gara dia, Abdi. Ya, pemuda itu.

Bagaimana tidak. Bisa - bisanya orang itu lupa, bahwa, dia telah membuat janji dengan Tiara. Yang itu berarti, bahwa, Tiara saat itu sedang berada di suatu tempat, entah dimana, sedang menunggu Abdi. Bisa dibayangkan, bukan, bagaimana perasaan Tiara diberi harapan seperti itu.

Sedangkan, disisi lain, Abdi telah berjanji pada dirinya, dan setuju untuk mengambil rapier - nya, disasana. Dan itu berarti Abdi juga memberi harapan padanya. Uuuh, awas saja jika Abdi sampai lupa atau terlambat. Saravi berjanji, bahwa Abdi akan menerima perhitungan darinya.

Tadi, saat perjalanan menuju ke sasana, tiba - tiba, Abdi teringat sesuatu. Dia telah membuat janji dengan tiara, dan minta diturunkan dari taxi ditempat itu juga.

Tentu saja, permintaan itu dikabulkan saat itu juga. Tidak lupa Saravi memberi tanda sayang berupa hantaman mesra dari bilah rapier dengan sepenuh hati. Biar saja, biar tahu rasa.

Saat datang disasana, tadi. Saravi segera memasuki sasana dengan kesal. Raut wajah bengis gadis itu terlihat dari tadi.

Berlin muncul seketika. Mendekati Saravi yang masih memasang wajah bengis, dan berjalan ke suatu tempat.

Tentu saja, Saravi ikut bersamanya, dengan sedikit paksaan. Ok, sedikit paksaan itu sangat tidak mungkin, terlalu mengada - ada. Lihat saja Saravi yang tengah meronta - ronta, minta dilepaskan dari kuncian Berlin.

Tentu saja, Berlin tidak ingin melepaskanya. Karena, Berlin tahu pasti, bahwa, gadis yang sedang dia kunci, dan sedang dia seret paksa itu, sedang dalam suasana hati yang buruk, dan siap meledak kapan saja. Tinggal tunggu pemicu itu ditarik, dan, boom, meledaklah gadis itu.

Tadi, Berlin hendak turun dari lantai satu, menuju lantai dasar. Secara tidak sengaja, dia melihat Saravi baru saja memasuki pintu utama, dengan langkah, sedikit, agak, menghentak. Terlebih lagi, raut wajah gadis itu, terlihat menakutkan, bagi yang melihat, selain Berlin. Namun, bukan itu yang Berlin takutkan dari keadaan Saravi saat ini. Melainkan, aura membunuh yang menguar dengan luar biasa kuat, dan siap menghancurkan apa saja, tanpa terkecuali.

Fana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang