Masih terduduk ditempatnya saat ini. Dengan wajah yang terlihat tenang, Abdi merasa keadaan Saravi sudah jauh lebih baik. Cekikan rasa khawatir yang dia rasakan kemarin, nyatanya hanya cemas yang terlihat berlebihan. Padahal, kondisi gadis itu kemarin sukses membuatnya gagal fokus sepanjang bekerja. Memang, kecelakaan kerja akibat kelalaian tidak terjadi. Namun, baik Pak Agus, Savitri, atau sang investor baru, Savira, sering menegur dirinya akibat sering kedapatan melamun.
Badanya saja yang terlihat di kedai, tapi pikiran Abdi tertinggal di Saravi, atau juga hatinya.
Ah, entahlah.
Permintaan gadis itu saat melawan Pyro, membuat Abdi sedikit banyak berpikir.
Membuat pertimbangan baru. Tentang hubungan antara dirinya, dan Saravi, jika ini berlanjut. Sepertinya sulit bertahan dengan hubungan biasa antara among, dan angel. Pasti ada ikatan lebih dari itu.
Tidak masalah jika itu yang terjadi. Bagi Abdi, keberadaan Saravi dalam hidupnya, entah kenapa terasa wajar. Kebersamaan yang menuntut, menyita banyak perhatian, hati, dan pikiran.
Ok, hentikan. Sebelum semua ini membuat gila. Lebih baik, jalani saja, dan turuti apa mau Saravi.
Yang pasti, bagi Abdi, merasa dirinya dibutuhkan, tidak sendirian, tidak diabaikan, apapun syaratnya, Abdi akan penuhi. Sekalipun itu terasa mengikat, dan sulit bergerak. Terserah, pemuda itu tak peduli.
Tapi kali ini, dia harus benar-benar peduli. Tentang keselamatan ruang tengah rumah, dan dirinya. Sejak beberapa saat setelah bangun tidur, hingga tengah hari seperti sekarang. Gadis itu tak berhenti uring-uringan. Keadaan akan semakin buruk, jika Abdi bertanya. Sungguh, gadis itu terlihat mirip harimau betina gagal kawin, akibat pejantanya ditikung betina lain.
Alhasil, Abdi hanya duduk disini. Satu-satunya perabot kursi, dan meja dirumahnya. Melihat ekspresi Saravi yang sedang kesal seorang diri.
Sekarang percaya, bukan. Rasa cemas Abdi kemarin sia-sia.
Dengan wajah masih terlihat gusar, Saravi menghempaskan tubuh. Duduk tepat di depan Abdi. Ada satu lagi kursi disana. Sejak tadi, pandangan pemuda itu, tak lepas perhatian dari Saravi. Sedangkan gadis yang diperhatikan, malah tak lepas pandang dari layar ponsel pintar di genggaman. Sesekali suara erangan terdengar dari bibir manis itu.
Berada dalam satu ruangan, dan tak bertegur sapa. Itu hal ganjil terasa. Sehingga untuk yang kesekian kali, Abdi buka suara, apapun resikonya.
"Saravi, kau baik-baik saja?"
Bahkan, ucapan itu lebih lirih dari bisikan.Erangan Saravi yang makin panjang, adalah jawabanya. Tidak hanya itu. Ada hentakan kaki di lantai, beserta kepalan kedua tangan memukul-mukul paha sendiri.
Urusan apa gerangan, hingga membuat gadis itu kesal setengah mati, seperti ini.
"Kamu, bisa diam, tidak. Apa kamu tidak lihat, aku ini sedang kesal, tahu. Jadi simpan saja perkataan 'baik-baik' mu itu, mengerti!"
Betul, bukan. Seperti dugaan sebelumnya, Saravi terlihat siap menelan kepala bulat-bulat. Itu lebih baik, ketimbang berderai air mata sepanjang flute dimainkan, saat melawan Pyro. Asal tahu saja, air mata, dan Saravi, bukan pasangan serasi.
Nekat, Abdi mencoba peruntungan lagi.
"Aku tahu, kamu kesal. Tapi, apa sebabnya. Tidak mungkin kesalmu itu tanpa sebab, bukan. Jadi, bilang padaku, apa yang membuatmu merasa seperti ini."Tak ada tanggapan. Jemari Saravi masih asyik berseluncur diatas permukaan layar ponsel. Lengkap dengan dahi berkerut.
Namun, mungkin ada benarnya perkataan Abdi. Dengan kepala masih tertunduk, Saravi melihat sekilas ke arah pemuda itu. Lalu kembali, seperti menimbang suatu hal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fana
FantasyAkulah Sang Pencipta Aku juga mengasihi dan menyayangi ciptaanku , tapi jangan lupa bahwa "itu" juga asma-Ku. Abdi, seorang pemuda biasa saja di sekolahnya berteman dengan Tiara salah satu gadis yang tidak hanya cantik tapi juga pintar. Walaupun Ab...