1. Andai Dia Tahu

174 23 6
                                    

Pagi yang cerah, saat seorang pemuda sedang berkemas. Dia adalah Abdi, Abdi Barata. Dia bersiap ke sekolah pagi ini. Setelah dirasa semua persiapan sudah cukup, dia segera keluar rumahnya. Dia tak ingin terlambat..

Pagi ini, sama saja seperti pagi-pagi biasanya. Matahari bersinar hangat, namun tidak demikian dengan suasana rumahnya. Rumah itu terasa dingin, hambar dan kelabu. Tempat paling tidak ingin Abdi tinggali sebenarnya. Tapi tidak ada lagi tempat yang dapat melindunginya dari panas terik hujan badai selain tempat ini.

Ironis memang. Tempat yang menjadi tempat berlindung adalah tempat dimana kepahitan hidup dia rasakan.

Itu semua terjadi enam tahun yang lalu. Pagi tersuram saat Abdi merasa tidak ada seorang pun kecuali dirinya. Orang tuanya meninggalkanya, menelantarkanya. Hal yang baru disadarinya setelah satu bulan kemudian.

Sebenarnya, keluarganya bukan pemilik rumah ini awalnya. Ini adalah rumah pemberian seorang kaya kepada keluarganya karena suatu jasa yang pernah keluarganya perbuat untuk seorang kaya tersebut.

***

MRT berhenti disebuah stasiun pemberhentian. Orang-orang yang memiliki tujuan yang dekat dengan stasiun ini segera berhambur keluar dari MRT itu. Tempat yang tadinya penuh sesak, kini sedikit longgar, walau nanti sebentar lagi juga akan penuh sesak kembali.

Abdi juga turun di stasiun tersebut, sekolah yang menjadi tempat tujuanya tidak jauh dari stasiun itu.

Pria itu berjalan bersama dengan beberapa orang dengan tujuan yang sama. Tidak ada obrolan dan memang Abdi tidak akrab dengan mereka. Abdi sadar siapa dirinya yang bukan siapa-siapa ini.

Dia hanya kebetulan saja bisa bersekolah disini. Berbeda dengan murid lain yang masuk sekolah ini karena kekayaan atau kecerdasanya.

Berbicara tentang kecerdasan, dimana murid tercerdas itu sekarang, apa dia belum datang. Biasanya sapaan renyah itu bakal terdengar setelah pria itu berjalan beberapa langkah melewati gerbang. Dia, gadis itu, yang tercantik dan terpintar, yang hari ini ingin dibawakan sesuatu.

Dan suara yang didamba itu terdengar juga.

"Hei Abdi." Abdi menoleh kearah sumber suara tersebut. Benar dugaanya, pemilik suara itu adalah Tiara. Dia berjalan kearah Abdi dengan senyum tersungging di bibir. Tentu saja setelah gadis itu melambaikan tangan kearah pemuda yang mengantarkanya. Aih beruntung sekali pemuda itu, kata Abdi dalam hati. Bagaimana tidak baginya sosok Tiara sangatlah sempurna. Parasnya yang ayu, mata indah dengan bulu mata lentik tubuh yang ramping membuat tampilan Tiara kian sempurna. Dialah alasan Abdi ke sekolah hari ini. Atau ini juga alasan ratusan murid pria bersekolah. Ya mau bagaimana lagi dengan penampilan seperti itu tak heran banyak yang mengidolakan Tiara.

Abdi pun membalas sapaan Tiara. Tiba-tiba sebuah cubitan mendarat di lengan Abdi. "Kamu tak lupa pesananku kan? Awas ya kalau lupa!!!" setelah itu Tiara pergi ke kelas. Tak lupa ia meminta pesananya diantar ke kelas. Abdi memandangi Tiara dari belakang. Terlihat pinggulnya yang padat menggoda. Aduh bagaimana ini, Abdi segera menghilangkan pikiranya yang tidak-tidak.

Setelah sesampainya di kelas Abdi pun menyerahkan barang titipan Tiara. "Waaah... terima kasih ya sulit sekali menemukan pena berbulu seperti ini. Kamu memang bisa diandalkan." kata Tiara sambil tersenyum. Bagi Abdi jangankan pena berbulu, bulanpun akan dia petik jika Tiara pinta. Lalu Abdi meringis mendengar perkataan Tiara.

:Teeeettt."

Bel berbunyi, tak lama muncul Bu Tasya membawa seorang siswi bersamanya.

"Selamat pagi para murid, kali ini kita kedatangan siswi baru." lalu Bu Tasya mempersilakan siswi itu memperkenalkan diri.

Fana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang