14. Forgiven

29 6 30
                                    

Suara gemercik terdengar dari sebuah ruangan. Air itu keluar dari tangkai shower, membasuh tubuh indahnya. Adu pedang tadi, pasti sangat melelahkan baginya.

Sepertinya begitu. Semoga basuhan air itu mampu menghadirkan kesegaran dalam hati, kejernihan dalam pikiran, dan meluruhkan endapan yang mengganjal.

Baiklah!

Abdi berjalan meninggalkan tempat itu. Toilet wanita adalah tempat buruk bagi pria untuk berlama-lama berdiri didepanya.

Langkah kakinya tidak berhenti walaupun telah melewati pintu gerbang pagar sasana itu.

Senja yang indah. Walaupun, senja hari ini masih sama dengan senja kemarin, tidak berubah. Tadi, Abdi melihat pertarungan Saravi dan Berlin di roof top. Cukup seru, saat kedua master pedang saling berhadapan.

Seruan dan sorak sorai pemberi semangat di tujukan untuk kedua gadis itu. Sesekali napas ini berhenti tatkala hujaman-hujaman kedua bilah besi beda rupa mengincar titik vital, memburu tanpa ampun.

Langkah Abdi berbelok ke suatu tempat. Tujuan pemuda itu berada disana. Sebuah minimarket yang beroperasi 24 jam, ada dihadapanya.

Beberapa ekor burung kecil bertengger diatas papan nama minimarket itu.

Cukup ramai. Pengunjung berdatangan silih berganti. Kantong plastik berisi belanjaan tergantung ditangan mereka. Kendaraan bermotor terparkir dihalaman mini market.

Tempat minimarket ini berada tidaklah jauh dari gedung sasana, hanya berjarak dua bangunan pemisah.

Ucapan terima kasih keluar dari mulut Abdi setelah mendorong pintu masuk dan disambut dengan ucapan selamat datang dari para penjaga merangkap kasir minimarket.

Hembusan udara sejuk tercipta dari beberapa mesin penyejuk udara yang terpasang disana. Aroma wangi-wangian juga samar tercium. Menarik, aroma apel, ya.

Pandangan Abdi berkelana, memilah satu persatu. Perawatan wanita, bukan. Keperluan rumah tangga, bukan. Makanan instan, makanan kecil, roti, bukan. Minuman dingin, ice cream, bukan. Ah, itu dia, ketemu.

Pemuda itu melangkah kesana. Gelas kertas, air panas dalam pemanas air, kopi sachet, dan teh celup. Tepat seperti dugaanya. Tempat ini menyediakan minuman hangat. Dua gelas terseduh air panas dengan kantung teh di masing-masing gelas, tersaji. Beberapa gula stik dibawanya.

Abdi melangkah keluar minimarket kembali ke gedung sasana. Semoga ritual sakral mandi Saravi yang lamanya menyerupai lamanya matahari mengelilingi pusat galaxi, sudah selesai. Itu yang ada didalam benak Abdi setelah membayar semua minumanya.

"Ciee, yang perhatian." Sebuah teriakan penuh keceriaan terdengar di telinga Abdi. Dia kenal suara itu, Berlin.

Kepala Abdi bergerak, menoleh ke arah sumber suara. Ketemu, dia disana. Dengan senyuman lebar, dan tas gitar tergantung dipunggungnya. Tapi, Abdi tidak akan terkecoh. Itu bukan semi hardcase untuk gitar, melainkan bass gitar. Dan isinya, apalagi kalau bukan Sakabatto, dan Masamune, dua katana miliknya.

"Buat Saravi, bukan?" Gadis itu melirik ke dua tangan Abdi yang sedang membawa dua gelas kertas. Lalu, kembali menatap pemuda itu, dan berkedip-kedip menggoda.

Tertawa canggung, pemuda itu berkata.
"Iya, ini untuk Saravi."

Tawa Gadis itu pecah. Sepertinya dia puas dengan sikap canggung Abdi. Mungkin merupakan hiburan tersendiri baginya. Gadis itu terlihat lebih segar dari sebelumnya. Mungkin, dia tadi sempat mandi, dan semoga saja Saravi juga sudah selesai mandi.

"Kapan kamu bersikap manis seperti itu, Jeremy." Rajuk manja Berlin kepada seseorang yang ada didekatnya.

"Apa menurutmu, menjemputmu disini, menunggumu selesai mandi, dan membukakan pintu mobil seperti ini, tidak cukup manis?"

Fana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang