06.40
Sialan! mampus gue!
Cowok itu terjengkit kaget saat melihat jam dinding kamarnya. Rasa kantuk yang menyelimutinya pun mendadak hilang terganti dengan rasa panik.
Masih dengan muka bantalnya, cowok itu bangkit dan bergegas mengambil handuk didekat lemari pakaiannya, lalu berlari terbirit masuk ke dalam kamar mandi.
Kebetulan semua kamar dirumah super mewah milik orangtuanya mempunyai kamar mandi pribadi. Jadi tidak perlu repot-repot keluar kamar jika keadaan sedang mendesak seperti sekarang.
Sudah menjadi hal biasa bagi
Daven jika terlambat datang ke sekolah. Tetapi tidak untuk hari ini. Hari ini ada ulangan fisika dikelasnya, jam pertama pula.Ia tidak mau jika harus mendengarkan siraman rohani alias ceramahan Bu Ninik yang panjang lebar selama tujuh hari tujuh malam.
Jika kata Arif, sahabat karib Daven,
Bu Ninik mah tiap hari nyruput oli, jadi bisa lancar gitu bacotnya.Dasar murid durhaka. Untung saja Bu Ninik tidak punya indra ke enam. Jika punya, mungkin Arif sudah disantet olehnya.
4 menit berlalu...
Pintu kamar mandi pun terbuka, menampilkan Daven yang berjalan tergesa mengambil seragam dan memakainya asal. Bahkan bajunya tidak dimasukkan ke celana abu-abunya.
Cowok bermata tajam bak mata elang itu menatap dirinya dicermin. Ia mengacak-acak rambutnya yang sudah berantakan menjadi semakin tak karuan.
Ia menyemprotkan parfum maskulin ke tubuhnya lalu menyambar dasi dan memakainya asal. Tak lupa ia mengambil tas hitam lalu menyampirkan disalah satu bahunya.
Cowok berkulit langsat itu membuka pintu kamar dan bergegas menuruni satu persatu anak tangga menuju lantai dasar rumahnya.
"Pagi, Ma," sapa Daven kepada wanita paruh baya yang sedang membelakanginya.
Wanita itu berbalik dan menatap putra sematawayangnya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya lalu berjalan mendekat.
"Gini nih kalo dibilangin gak mau nurut, jadi bangun kesiangan kan?" ujar Rani—Mama Daven. Ia sudah maklum kepada putranya itu. Percuma mengatur Daven, toh tidak akan menurut juga ujung-ujungnya.
"Iya, Ma. Maaf, gak lagi deh ngegame sampe jam dua. Daven berangkat dulu, takut telat," pamit Daven sambil menjabat tangan Mamanya dan menciumnya.
"Kamu gak sarapan dulu, sayang?" tanya Rani sambil berjalan mengantarkan putranya menuju garasi tempat motor Daven terparkir manis.
"Enggak, nanti disekolah aja keburu telat, Ma. Daven berangkat dulu. Assalamualaikum," pamit Daven yang sudah memakai helm fullface lalu menaiki motor sport hijaunya.
"Waalaikumsallam, jangan ngebut dijalan. Hati-hati," pesan Rani agak khawatir. Bukan apa-apa. Manja atau bagaimana. Rani sangat tau kalau putranya itu mahir sekali dalam hal mengendarai kendaraan bermotor.
Daven mengangguk. Cowok itu pun mulai menghidupkan mesin motornya lalu menjalankan motornya menuju gerbang rumahnya.
Ia melewati gerbang dan sudah berada dijalanan. Jika keadaan mendesak seperti ini, ia akan melupakan pesan Mamanya tadi.
Siapa sangka, ditengah padatnya kendaraan yang berlalu-lalang dijalanan, Daven malah melajukan motornya diatas rata-rata mengingat sudah hampir jam tujuh.
Ia mengabaikan pengendara lain yang sedari tadi memaki, mengumpat, dan mengklakson karena ulahnya ngebut dijalanan. Yang terpenting sekarang adalah sampai disekolah sebelum terlambat.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Girl [ON-GOING]
Teen Fiction[SEDANG HIATUS] Terkadang Tuhan hanya mempertemukan, bukan menyatukan.