PART 9 - Sorry

3.6K 276 27
                                    

Author POV

Daven membuka matanya perlahan. Pandangannya masih agak kabur. Tetapi lama-lama menjadi jelas.

Dan yang pertama kali dilihatnya adalah kamar yang asing. Daven bangkit, duduk dipinggiran kasur. Daven memegang pelepisnya yang berdenyut. Lalu beralih menatap keseluruhan kamar.

Kamar yang bernuansa abu-abu ini bukan kamarnya. Tapi ia tau siapa pemilik kamar ini. Tomy. Apartement Tomy.

"Udah bangun lo?"

Daven mengarahkan pandangan ke pintu. Tomy datang membawa secangkir air putih hangat.

"Nih minum, masih pusing gak, Nyet?" tanya Tomy sambil menyerahkan minum.

Daven meminumnya. Seusai minum, ia meletakkan cangkir dinakas. Daven mengabaikan pertanyaan Tomy dan malah balik bertanya.

"Kenapa gue bisa disini?" tanya Daven kebingungan. Ia tidak mengingat apa-apa semalam.

"Lo mabok berat semalem bro, terus tepar. Gue sama Arif bawa lo kesini. Ya kali gue bawa ke rumah lo. Bisa dibiarin sekarat lo sama Papa lo."

"Dia bukan Papa gue. Gak sudi gue manggil dia Papa," sahut Daven.

Tomy duduk disamping Daven lalu menepuk pundaknya pelan, "Kalo ada masalah, cerita sama gue atau Arif. Jangan dipendem sendiri. Walaupun mungkin, gue gak bisa bantu apa-apa, tapi setidaknya rasanya jadi lebih ringan, Ven."

"Gue udah cerita semalem," Daven menyahut.

"Ya maka dari itu gue seneng lo bisa cerita. Gue dan Arif akan selalu dukung lo. Masalah itu dihadapin Ven, bukan dihindarin."

Daven diam. Mendengarkan kata-kata Tomy. Ia menatap lurus tembok didepannya dengan tatapan kosong. Hampa.

"Lo bicarain baik-baik sama keluarga lo. Pake kepala dingin. Jangan maen kabur kayak gini. Gue jamin gak bakal selesai nih masalah kalo lo biarin aja," tutur Tomy.

Daven tertawa sinis, "Gue bisa apa Tom?! disini gue korban. Gue gak bisa apa-apa, kecuali kalo buat habisin lelaki bejat itu!" suara Daven meninggi. Tomy tau jika Daven masih emosi.

"Bego! Pake kepala dingin! lo jernihin pikiran lo dulu! jangan asal bertindak," Tomy membalas Daven.

Daven berdecih, "Gue masih gak nyangka kalo gue bukan anak kandung mereka."

"Banyak orang yang bilang gue gak ada mirip-miripnya sama mereka berdua. Gue bodoamatan waktu itu. Tapi setelah tau yang sebenarnya, terjawab sudah pertanyaan gue selama ini. Gue ... cuma anak angkat mereka. Anak pungut, sampah!" Daven tertawa hambar. Ia menghembuskan nafas berat.

"Seharusnya lo berterima kasih sama mereka, Ven. Mereka yang udah rawat lo dari kecil sampe bangkotan kaya gini."

"Gak," Daven menggelengkan kepala.

"Untuk saat ini gak akan. Gue masih kaget. Gue masih belum bisa nerima kenyataan. Ditambah lagi laki-laki bangsat itu mau cerai sama Mama. Biadab emang. Gue mah bodoamat sama dia, mau mati juga gue fine fine aja. Cuma, gue gak tega sama M-mama," bahkan Daven merasa aneh sekarang jika memanggil perempuan itu dengan sebutan Mama.

Daven tertawa miris, "Rumit ya hidup gue."

Tomy menepuk pundak Daven, "Gue dan Arif akan selalu dipihak lo dan selalu dukung elo."

Daven terkekeh, walaupun agak kaku, "Lo berdua emang temen seperbangsatan gue."

"Sialan lo," umpat Tomy. Tomy menyenggol bahu Daven.

"WOY LO BERDUA! MAMAH DEDEHANNYA UDAH DULU. SEKARANG NONGKRONG KUY, HARI MINGGU NIH," teriak Arif dari luar kamar.

"Anjing suara lo, Rif! budek kuping gue," maki Tomy. Tomy tau jika Arif bermaksud mencairkan suasana.

My Perfect Girl [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang