Author POV
Semilir angin berhembus menambah kesegaran udara pagi ini. Langit pun tampak mendung mengingat hujan lebat mengguyur malam tadi.
Seorang cowok berhoodie abu-abu tengah berjalan santai menyusuri koridor menuju kelasnya. Kakinya yang panjang, membuat langkah demi langkah cowok itu terlihat lebar.
Kedua tangannya dimasukkan ke saku dengan tas hitam tersampir manis dibahu kanannya. Mata tajam bak elangnya pun menambah kesan tegas cowok itu.
Daven, cowok itu kini menjadi pusat perhatian siswa-siswi yang berada dikoridor. Semua kaum hawa mentapnya dengan tatapan kagum dan terpesona. Entah kenapa karisma cowok itu berhasil menarik siapa saja yang melihatnya.
Ketika ia sudah sampai di koridor kelas XI. Lebih tepatnya didepan kelas XI IPA-1. Kelasnya sendiri. Ia dibuat kaget oleh seorang cewek yang menghalangi jalannya masuk ke kelas.
"STOP!!!" cegah cewek itu dengan tangan terbentang bermaksud mengalangi jalan Daven. Ya, cewek gila itu, Metta.
Daven menautkan kedua alis, bingung plus heran, "Minggir," usirnya ketus.
Sekarang keduanya pun menjadi tontonan siswa-siswi kelas XI. Banyak yang berbisik-bisik. Tetapi hal itu tidak dihiraukan oleh Metta. Masa bodoh.
"Aduh, bentaran gue mau ngomong. Jangan masuk dulu. Penting nih," ujar Metta mencegah Daven masuk. Daven menangkap ekspresi panik diwajah manis Metta.
Daven menghembuskan nafas pasrah. Sebenarnya ia malas berurusan dengan cewek gila seperti Metta. Kenal saja tidak, Daven mengetahui nama Metta saja baru kemarin. Ia sempat melirik nametagnya saat cewek itu menabraknya.
Entah kenapa kali ini ia menurut saja. Padahal ia sangat cuek dan malas jika berurusan dengan spesies makhluk seperti cewek. Ribet, pikir Daven.
Metta menghembuskan nafas lega. Ia masih mengatur degupan jantungnya yang memompa darah sangat cepat, "Ya-yaudah lo ikut gue ke perpus bentar. Jangan disini yang ngomong, malu diliatin orang," ucap Metta sambil melirik kanan kiri, banyak pasang mata yang melihatnya.
Daven menatap Metta datar, "Buruan."
Metta mengangguk lalu berjalan mendahului Daven, memimpin jalan. Daven mengekor dibelakangnya.
Dan akhirnya kedua orang itu sampai dan masuk ke perpus yang sudah dibuka. Mereka duduk disalah satu bangku.
"To the point, waktu gue gak banyak," Daven memulai percakapan.
Metta memutar bola mata malas, "Idih, belagu banget jadi cowok. Sok jadi orang penting," cibir Metta sambil menyelipkan anak rambutnya ke telinga.
Daven berdecak lalu bangkit hendak pergi. Metta yang kaget, refleks mencekal pergelangan tangan Daven.
"Iyaiya. Sabar dikit napa sih?! cuma sepuluh menit doang gue pinjem waktu lo. Gak sabaran banget jadi orang. Kalo bukan karna Bu Ayuk, gue juga ogah berurusan sama spesies makhluk kayak lo! Dasar sombong," ucap Metta dengan wajah cemberut. Mulai deh bawelnya keluar.
Metta menangkap ekspresi terkejut diwajah Daven. Metta sadar, lalu ia mengarahkan pandangan ke bawah. Mata Metta membulat sempurna. Refleks Metta langsung melepas cekalan tangannya.
Metta gelagapan, "Ehh, aduh. Sorry sorry, tadi refleks," Metta menggaruk tekuk canggung.
Daven sudah menetralkan keterkejutannya. Lalu ia kembali duduk. Metta pun juga ikut duduk.
Metta berdehem, "To the point nih! Jadi gini, gue dapet tugas dari Bu Ayuk suruh buat laporan tentang kegiatan Bazaar minggu kemaren. Nah, gue suruh mewawancarai ketos katanya. Maka dari itu, pliss banget lo bantu gue ya? gue bakal wawancarai lo mengenai kesuksesan acara itu," jelas Metta panjang lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Girl [ON-GOING]
Teen Fiction[SEDANG HIATUS] Terkadang Tuhan hanya mempertemukan, bukan menyatukan.