14 | NOT FORCED

971 86 0
                                    

Play Music :

Davichi - forgetting you

"Bukan karena aku tak suka denganmu, hanya saja yang namanya hati memang tak bisa di paksakan."


Mungkin bagi sebagian orang di dunia ini, keajaiban itu nyata adanya. Tapi, bagi sebagian yang lain keajaiban itu hanyalah omong kosong yang hanya ada di negeri dongeng saja. Tapi ditempat ini, rasanya semua orang akan berpegang teguh pada yang namanya keajaiban. Keajaiban untuk hidup dan melanjutkan harapan.

Ya, masih seputar soal Rumah Sakit.

Gadis itu tengah terpejam diatas ranjang putih, tubuhnya berbalut selimut tebal guna menjaga suhu tubuh untuk tetap hangat, juga infus yang terpasang di tangan kirinya.

Namum perlahan... manik hezel milik Nayla itu mulai terbuka dari kesunyian yang ada.

Benar, kesunyian. Sebab kali ini Nayla tak mampu mendengar barang satu suara pun. Gadis itu mengernyitkan dahi sembari beberapa kali mengedipkan matanya pelan. Ia menoleh, mendapat seorang wanita setengah baya tengah tertidur menundukkan kepalanya disamping ranjang.

"Bun..." Nayla berujar pelan. Namun wanita tadi tidak kunjung menoleh padanya.

Perlahan tangan Nayla bergerak. Mengelus pelan lengan Bundanya yang ada diatas ranjang tempatnya berbaring.

"Bun..." gadis itu kembali berujar.

Sontak wanita tadi segera mengangkat kepalanya.

"Nay...kamu udah sadar? Bunda khawatir, Nay" Tiap berujar sembari mengeluh rambut Nayla yang tak tertata.

Ini aneh, Nayla tau bahwa Bundanya sedang bicara, ia juga tau bahwa ia tidak bisa mendengar hal itu. Tapi mengapa?

Gadis itu beberapa kali mengambil nafas panjang, memijit kepalanya pelan, juga mengedipkan matanya beberapa kali. Berharap jika setelahnya, semua akan kembali normal. Tapi, kenyataan memang kejam. Karena hal tersebut tak membuat dirinya kembali seperti sedia kala.

"Bun..., Nayla udah tidur berapa lama? Dan...dan kenapa Nayla nggak bisa denger suara Bunda? Nayla kenapa, Bun?" gadis itu memberikan rentetan pertanyaan pada sang Bunda dengan nada yang pelan.

"Delapan...udah delapan jam sayang." Tia menjawab dengan manik yang tak berpandang ke arah Nayla.

"Bun, Nayla nggak tau Bunda ngomong apa. Nayla kenapa? Kenapa nggak ada satu suara pun bisa Nay dengar, Bun? Nay kenapa?" Nayla kembali bertanya. Namun kini, matanya mulai meneteskan air mata.

"Tolong jawab Nay, Bun! Jelasin ke Nay, kenapa Nay bisa kayak gini!" kini gadis itu terisak semakin keras.

Melihat itu Tia ikut terisak. Perlahan tangannya meraih tubuh Nayla, mencoba mendekap hangat putrinya tersebut. Namun, belum juga berhasil ia meraih tubuh Nayla, gadis itu sudah terlebih dahulu menangkis tangan Tia dengan sedikit keras.

"Jawab Nay, Bun! Nayla tuli?! Cacat?! Kenapa?!" kini tangisan Nayla semakin menjadi, gadis itu terus menangis dan tak henti memaki dirinya sendiri. Sebelum kemudian pintu ruangan tersebut terbuka, menampilkan beberapa perawat berpakaian serba putih dengan nampan ditangannya.

Seorang perawat mendekati gadis beriris hezel tersebut dengan sebuah suntikan ditangannya. Meskipun beberapa kali Nayla sempat memberontak, akhirnya suntikan penenang tersebut berhasil masuk tertancap di tangan Nayla.

'Kenapa Tuhan selalu tak adil padaku? Apakah dosaku sebegitu besarnya, sampai-sampai Ia memberikan hal ini padaku? Sejak dulu aku hanya ingin satu hal, bahagia. Itu saja. Tapi sampai sekarang aku tak mendapatkan nya. Dan malah mendapatkan hadiah menyedihkan seperti ini. Ini tak adil..."

❣❣❣

Seperti biasanya, jalanan ibukota selalu macet, ramai akan kendaraan yang hilir mudik dari berbagai arah. Laki-laki beriris kopi tersebut sedang mengedarkan pandangannya pada jalanan didepan sana. Berharap, bahwa mobil-mobil yang mengular itu segera berjalan dan bukannya malah berhenti total seperti ini. Disebelahnya ada seorang gadis yang tengah terpejam. Mungkin lelah akan lamanya waktu yang harus ditempuh, sekalipun dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Gadis itu menggunakan dress selutut berwarna tosca dengan renda-renda putih dibagian lehernya. Cantik, bak seorang bidadari yang sedang kebetulan saja terlahir dibumi.

Kamu itu cantik. Lebih cantik dari
Nay sebenarnya. Tapi entah mengapa aku lebih menyukai adikmu itu. Bukan karena aku tak suka denganmu, hanya saja yang namanya hati memang tak bisa di paksakan.

Zian berujar dalam hati. Ia melirik pada Syifa yang masih setia pada lelapnya. Perlahan tanganya terulur, mencoba merapikan helaian rambut yang menutupi wajah Syifa.

Ah, lalu lintas yang padat tanpa gerak pun seolah tak ada apa-apanya dengan raut gelisah yang tercetak di wajah gadis itu. Bahkan dalam tidurnya sekalipun.

Perlahan wajah Zian mendekat pada Syifa. Bukan, Zian tak ada maksud untuk menciumnya. Ia hanya memebisikka sesuatu disana.

"Dengar, jangan selalu menyalahkan dirimu atas semua yang terjadi. Karena memang tak ada yang bisa disalahkan atas ini. Ini karena takdir, bukan karena kesalahan seseorang. Dan asal kau tau, takdir tak pernah salah. Ia ada untuk memberikan yang terbaik bagi kita, ia hadir untuk memberi pelajaran hidup yang tak akan pernah bisa kita lupakan. Kerena dia lah, kita bisa merasakan warna-warni kehidupan itu nyata adanya." Zian berkata pelan. Persis disebelah telinga Syifa.

Setelah menyesuaikan kalimat panjangnya, laki-laki tersebut tersenyum. Senyum tulus yang tak dipakasakan, entah kenapa yang Zian inginkan kali ini adalah membuat Syifa yakin. Membuatnya percaya, bahwa apa yang terjadi bukanlah kesalahan, bahwa apa yang mejadikan ini cobaan, hanyalah sebagian kecil dari lika-liku kehidupan yang memang benar adanya.

Shit, Zian sedikit terbelalak saat tiba-tiba saja Syifa sedikit mengubah posisi tidurnya. Sontak, Zian segera menarik tubuhnya menjauh

Jalanan didepan sana masih ramai, meskipun kendaraan sudah bisa sedikit bergerak. Setidaknya itu bisa mempercepat mereka untuk sampai ke rumah.

Tia sengaja meminta tolong pada Syifa untuk mengambil beberapa pakaian milik Nayla, mengingat Nayla yang memang masih harus berada di Rumah Sakit sampai beberapa hari kedepan. Alhasil, Zian pun mengantar Syifa untuk itu.

Mungkin hari ini telah menjadi hari pertama bagi Zian untuk tercatat sebagai siswa yang tidak Sekolah tanpa adanya keterangan apapun. Bagaimana tidak, sejak insiden pagi tadi... Tak seorang pun terlihat baik-baik saja. Mereka turut sibuk dengan Nayla yang tiba-tiba saja jadi seperti ini. Ya, semua kecuali satu orang. Ayah Nayla. Laki-laki setengah baya tersebut memang sedang ada di luar kota saat ini. Meskipun begitu, Tia maupun Syifa sudah berusaha untuk menghubungi nya melalui telepon. Tapi hasilnya tetap nihil. Tak satupun panggilan terjawab. Mungkin ia sedang sibuk atau tengah menghadiri rapat saat itu. Atau mungkin juga...ia memang tak mau tau.

✳✳✳✳✳✳✳✳✳✳✳✳✳✳✳✳✳✳✳✳✳

Annyeong yeorobun...,
Udah bab 14 nieh yaa😁😁😁
Maaf buat chapter ini Author nggak kasih foto😌

Btw,, nulis chapter ini tuh penuh dengan perjuangan Lol.
gak sekali dua kali cerita ini kehapus, ntah karena si wattpad nya yang lagi error atau Author aja yang kurang beruntung wkwk. Bikin darah tinggi pokoknya mah.
Okelah, yg penting sekarang udah jadi😄😄😄

Untuk para pembaca yang author sayangi/eakkk
Tolong jangan lupa tinggalin jejak kalian disini yahh...😉😉😉

Voment juseyo🤗🤗🤗

💋💋💋




With love,
Kaisha















Dear Sister Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang