37 | FROM ME

685 49 6
                                    

Play Music :

EXO - My Answer

"Aku tidak pernah menunggu apapun sebelumnya. Tapi sekarang aku menunggunya. Mungkin karena aku menyukainya. Sangat-sangat menyukainya."

Matahari sudah meninggi saat Zian duduk diatas kursi tunggu yang ada diluar ruangan ICU tempat Nayla dirawat. Beberapa hari terakhir ini Rumah Sakit memang sudah ada di jadwal kunjungan hariannya, ia jadi lebih sibuk dari biasanya, terlebih mengingat 2 setengah bulan lagi ia sudah harus mengikuti ujian akhir untuk kelulusan. Belum lagi urusan pergantian ketua dan pengurus OSIS yang masih berada di tahap awal pendaftaran calon. Cukup sibuk, tapi semua kegiatan itu tak mampu membuatnya melupakan dua orang yang tengah tertidur lelap entah sampai kapan. Sepulang sekolah seperti biasa Zian menyempatkan diri untuk mengunjungi Nayla dan Syifa, ia hanya merasa bahwa itu perlu ia lakukan. Meskipun dua gadis itu tidak bisa merasakan kehadirannya, Zian tetap percaya bahwa sendirian pastilah tidak menyenangkan. Jadi sebisa mungkin dirinya akan berkunjung ke ruang rawat mereka, mengajaknya mengobrol sebentar, juga mengganti bunga segar yang ada di ruangan itu sebanyak 2 kali sehari. Ini adalah kebiasaan barunya, Zian kerap kali membawa bunga lavender ke ruangan Nayla. Karena katanya, bunga tersebut bisa membuat otot rileks dan pikiran tenang. Mungkin dengan begitu, Nayla bisa lebih rileks jika ia menghirup aroma lavender tersebut.

"Masuk aja, Zi, sekalian Tante titip Nayla bentar. Mau ke ruangan Syifa soalnya." Tia berujar saat dirinya melihat Zian tengah duduk di kursi tunggu sendirian.

Mendengar hal itu Zian tersenyum, tentu itu adalah tujuannya kesini. Untuk menemui Nayla. Laki-laki itu mengangguk sebelum kemudian melangkahkan kakinya memasuki ruang rawat Nayla. Ah, Zian tidak suka dengan ruangan ini. Disana tak ada apapun yang menarik, hanya ada sebuah kursi, ranjang pasien dan beberapa alat medis yang kerap mengeluarkan suara beragam. Zian terus melangkahkan kakinya lebih jauh ke dalam ruangan, lalu kemudian ia mengganti bunga yang sedikit layu di atas nakas dengan bunga segar yang ia bawa.

"Apa kabar, Nay? Aku harap kabarmu akan segera membaik. Asalkan kamu tau, kabar ku tidaklah baik-baik saja tanpamu." Zian berujar sesaat setelah dirinya duduk di kursi yang ada disamping ranjang Nayla. Keadaan gadis itu masih sama, tidak ada kemajuan yang berarti. Selang infus masih terpasang di tangan kirinya, pun dengan selang oksigen dan beberapa peralatan medis yang masih terpasang disebelahnya. Beberapa bagian tubuhnya juga masih dibalut perban, yang entah kapan akan dibuka.

"Meskipun setiap hari aku kesini... Apa kamu tau, Nay, aku nggak bisa lama-lama. Rumah sakit memang punya peraturan yang ketat, sampai-sampai berkunjung pun harus sesuai dengan jadwal yang ada." Zian mendengus, sambil mengelus pelan punggung tangan Nayla yang sedikit dingin.

"Aku selalu bawain kamu Bunga lavender, Nay. Tau kenapa–" Zian berhenti sejenak, "–ah, tentu kamu nggak bakalan jawab. Nggak papa, biar aku jelasin. Lavender itu lambang kekaguman, Nay. Meskipun bisa juga dilambangkan sebagai keanggunan seorang wanita. Untuk dapetin bunga lavender itu susah, nggak semua toko bunga di jakarta menjual bunga itu, hanya sedikit dan nyaris tidak ada. Beruntung aku tau satu toko yang menjual bunga itu dari Mama." Zian tersenyum masam. Ia merasa seperti orang bodoh yang terus berbicara meskipun sang lawan bicara tak kunjung menjawab. Laki-laki itu tak keberatan, ia cukup paham dengan kondisi yang ada. Zian menyelipkan beberapa helai rambut Nayla ke belakang telinga gadis itu, sebelum kemudian ia kembali berujar, "bunga itu seperti kamu, Nay. Susah buat cari orang kayak kamu, bahkan nyaris tidak ada. Karenanya, aku nggak mau kehilangan kamu, Nay."

"Ini sudah 3 hari, Nay, apa nggak bosan tidur terus? Punggungmu pasti sakit, kakimu pasti juga akan pegal semua. Kalau aja kamu tau, setiap malam Tante Tia selalu pijitin kaki kamu pelan. Katanya, biar saat kamu bangun nanti, kakimu nggak terlalu pegal." Zian terdiam sebentar, sebelum kemudian laki-laki itu mengambil nafas panjang. Masih menatap wajah Nayla dengan lekat.

Dear Sister Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang