26 | APOLOGY

823 62 11
                                    

Play Music :

Lee Hi - 한숨 (Breathe)

"Perasaan itu seperti amoeba, terus membelah diri dan bertambah banyak, tanpa sekalipun sempat kita menyadarinya."

Suara dentuman drum mengisi ruang kosong yang nampak lenggang. Seorang laki-laki berumur kisaran enam belas tahunan tengah asik dengan stick yang bergerak kesana kemari memukul permukaan drum yang sedikit bergetar.

Jam digital yang terpasang di dinding masih menunjukkan pukul 03.47 dini hari. Jika biasanya jam segini Alan masih setia diatas kasur empuk dan selimut tebalnya, nampaknya hari ini berbeda. Hari ini adalah hari pertamanya masuk sekolah di Jakarta, padahal baru kemarin sore ia tiba dari Bali. Ya, untuk mengambil beberapa barang nya yang ada disana.

Lingkungan baru, suasana baru, dan teman baru. Apakah hari ini akan sangat menyulitkan? Alan bertanya pada dirinya sendiri dalam hati.

Waktu seolah berjalan sedikit lebih cepat pagi ini, matahari bahkan sudah terlihat meninggi dari balik jendela itu. Kicauan burung, kokok ayam, juga suara decitan ban yang sedikit terdengar dari sana seolah berhasil membuat Alan beranjak dari posisinya.

"Cepat siap-siap, terus jemput Kakak kamu juga. Biar sekalian." Alan menghentikan langkahnya saat mendengar Papinya berbicara.

"Iya, Pi." Jawabnya.

Laki-laki itu melanjutkan langkahnya pelan, menuju ke kamar mandi yang ada di pojok ruangan.

Tenanglah, semua akan berjalan dengan lancar. Alan bergumam dalam hati, mencoba menguatkan dirinya sendiri.

❣❣❣

Sementara itu, ditempat lain, Nayla tengah melihat pantulan dirinya dari cermin. Tidak ada yang berbeda. Nayla nampak cantik dengan setelan seragam Sekolah yang tidak sekalipun ia sentuh beberapa minggu terakhir.

Gadis itu mendengus. Banyak sekali pikiran yang memenuhi kepalannya, ia khawatir dan bahagia di saat yang bersamaan. Itu sungguh menyulitkan.

"Alan sama Kakak kamu udah nunggu di bawah, Nay." Tia berujar dari balik pintu yang setengah terbuka. Nayla tak menjawab, gadis itu hanya mengambil tasnya dan berjalan pelan menuruni tangga, meninggalkan Tia yang masih menatap punggungnya dari belakang.

Alan berjalan mendekati Nayla saat melihat Kakaknya itu tersenyum ke arahnya. "Wah, Kak! Akhirnya kita satu Sekolah, nih,"

"Iya, Lan.udah ayo berangkat, biar nggak telat." Kemudian Nayla menengok Tia yang memang sedari tadi ada di belakangnya, "Nay berangkat, ya, Bun."

Melihat hal itu Tia tersenyum, melihat tiga malaikat kecilnya yang kini sudah beranjak dewasa. Meskipun ia tak terlalu lama merawat Alan, akan tetapi ia sudah cukup merawatnya sebentar saat kedua orang tua Alan dulu belum bercerai. Dan sepertinya kali ini ia juga bisa merawatnya lagi.

Satu lagi Putra. Tuhan sangat baik padaku, meski tidak memberiku anak kandung... Setidaknya ia telah mengirimkan mereka untuk menemani hari-hariku yang sepi. Tia berujar dalam hati.

Matahari terus meninggi, bersamaan dengan waktu yang terus berjalan. Alan masih sibuk memperhatikan jalanan didepannya, pandangannya tetap fokus menyetir meskipun sesekali mulutnya ikut bersenandung mengikuti alunan musik yang sengaja dinyalakan di radio mobil. Suasana cerah pagi ini seolah mampu membawa siapapun penikmatnya untuk selalu tersenyum, hangat juga menyenangkan. Tak terkecuali dengan Nayla, gadis itu duduk di sebelah Alan, disusul dengan Syifa yang duduk di kursi belakang. Hari ini Nayla telah merencanakan banyak hal, mulai dari meminta maaf pada Syifa, mengajaknya ke kantin bersama Zian, juga menyapa teman-teman sekelasnya.

Dear Sister Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang