25 | MY PRINCE

817 61 2
                                    

Play Music :

DAVICHI - 너 없는 시간들 (Days Without You)

"Masa lalu memang telah berlalu, tapi masa depan masih akan datang. Jadi, kita masih punya banyak waktu untuk merencanakannya."

Matahari masih malu untuk menampakkan dirinya pagi ini, ia masih setia bersembunyi dibalik kelabu yang kian menebal. Mungkin sebentar lagi hujan. Padahal, dingin sudah lama membelai kulit Nayla yang hanya berlapiskan kaos oblong hitam dan celana jins selutut.

Gadis itu memandangi rintik-rintik air hujan yang turun perlahan dari balik jendela yang tertutup rapat. Ia masih merasa hampa, hatinya gunda gulana, pikirannya juga sedang melanglang buana entah kemana. Ia rindu sekolah, rindu taman belakang yang menjadi saksi bisu tentang segala ceritanya, ia juga rindu Bu Rima. Bukan, ini bukan tentang rindu yang kerap dirasakan oleh sepasang remaja yang tengah kasmaran. Melainkan, rindu untuk membohongi sang Guru demi membolos pelajaran. Terdengar cukup buruk memang, tapi apa boleh buat, itu sudah menjadi kebiasaan buruknya sejak lama.

Nayla menoleh saat seseorang menepuk pundaknya pelan. Mungkin orang itu masuk setelah tak mendengar jawaban apapun saat dirinya mengetuk pintu. Karena memang Nayla tak mampu mendengarnya, gadis itu memang sedang tidak menggunakan alat bantu dengar sekarang.

Gadis itu segera memasangkan alat bantu dengarnya ke telinga, sesaat setelah Zian memberikan isyarat dengan memegang sebelah telinganya.

Ah, Nayla benci situasi seperti ini. Dimana ia seolah tidak bisa melakukan apapun tanpa bantuan alat.

"Good morning, Tuan Putri."

"Nayla, bukan Tuan Putri. Kamu nggak sekolah?" Gadis itu segera menyangkal sapaan manis Zian.

"Sekolah dong. Ini masih nunggu Syifa, berangkat bareng soalnya."

"Oh,"

"Nay, coba tebak aku bawa apa buat kamu," Zian berujar sembari mengangkat sebelah alisnya.

Nayla mengernyit, tangannya ia lipat di depan dada, seolah meminta jawaban.

"Tutup mata." Zian berujar lagi.

"Nggak mau,"

"Kenapa?" Kini Zian yang mengernyit pada Nayla.

"Buat antisipasi. Barangkali aja kamu ngasih uler ke aku, atau dengan tiba-tiba kamu ngeluarin pistol dan nodongin benda itu ke depan mukaku. Kan bisa gawat." Gadis itu berujar panjang lebar, masih dengan posisi yang sama.

Nayla kembali akan berujar, namun telah terlebih dahulu tangan Zian menutup rapat mulut gadis itu.

"Kalau nggak mau tutup mata, biar aku yang tutupin." Zian mengulurkan sebelah tangannya yang lain, menutupi mata hezel milik Nayla yang tampak begitu berbinar.

Sedetik berikutnya samar Nayla mampu mendengar alunan melodi, bukan lagu, melainkan sebuah instrument musik. Begitu lembut, seolah mampu menenangkan setiap hati yang bersedih dalam diamnya. Dalam gelap pejaman matanya, Nayla merasakan sebuah tenang yang entah berasal dari mana. Mungkin dari melodi yang berputar, atau mungkin juga dari aroma fougere yang melekat pada tubuh Zian.

"Sekarang udah boleh buka mata," Zian berkata sesaat setelah dirinya menarik kembali uluran tangannya.

Perlahan mata Nayla mulai terbuka, dan hal pertama yang ia lihat adalah sebuah kotak musik kuningan dengan sedikit bahan bludru merah, juga hiasan mini barellina di atas nya.

"Suka?" Zian bertanya sembari tersenyum.

"Suka. Tapi kenapa cewek banget, sih?"

"Soalnya, mau seperti apapun dan bagaimanapun kamu, kamu tetap cewek."

Dear Sister Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang