REALITY

103K 9K 103
                                    

One vote, wouldn't kill you, baby!

🍃

Dayu hanya 25 tahun. Dia tidak pernah punya niatan untuk menikah saat dia datang ke kota. Dia menempuh perjalanan dua hari dua malam dari kampungnya. Niatnya hanya satu, bertemu seorang teman yang menjanjikan pekerjaan lebih baik daripada di kampungnya. Tapi, semuanya berubah dalam satu malam. Hanya dalam satu malam. Satu malam yang kala itu dia pikir, Tuhan mengirimkan malaikat untuk menolongnya.

Dia bertemu Sabta di sebuah halte. Dayu sendirian dan tidak tahu mau kemana. Temannya batal menjemput malam itu dan meminta dia untuk mencari tempat sementara. Lalu, saat sebuah sedan berhenti di depan Dayu dan menanyakan apa yang bisa dia bantu, Dayu tidak berpikir panjang. Dia menyebutkan nama sebuah tempat, kos-kosan temannya itu. Tanpa ada penolakan, Sabta setuju mengantarnya. Namun, Dayu tak tahu apa niat Sabta malam itu. Malam ulang tahunnya. Dia ingin melakukan apa saja.

Paginya, saat dia bangun, dia bingung setengah mati. Mendapati dirinya bersama seorang pria di atas tempat tidur, dunia Dayu berhenti sudah. Tiga hari setelah kejadian itu, orang tua Sabta menikahkan mereka.

Sekarang, setelah seminggu menikah dengan Sabta, mereka benar-benar seperti orang asing. Sabta setidaknya lebih baik lantaran mereka tinggal di rumah orang tuanya. Sedang Dayu, tinggal dengan mertua yang tidak menyukainya. Ibu mertua yang senang sekali mencari kesalahan Dayu, menempatkan pada posisi tidak enak, dan menuduhnya telah menjebak Sabta. Ditambah, Sabta tidak pernah bersedia membelanya. Namun, bersedia memanfaatkan Dayu untuk kesenanganya.

"Ini aneh, tapi aku suka saat kamu nggak bersuara sama sekali!" ujar Sabta sesaat setelah dia menjatuhkan tubuhnya di samping Dayu.

Perempuan itu merapatkan bibirnya, mengusap wajahnya kasar dan memunggungi Sabta. Setelah beberapa menit mengatur nafasnya, Sabta beringsut turun, memungut piyama dan berjalan menuju meja kerjanya.

Dayu mengelap air dari sudut mata dan berusaha melupakan semuanya. Namun, dia tidak bisa memejamkan matanya. Bangun dari tidurnya, dia menutupi tubuhnya dengan selimut, menuju kamar mandi. Mengenakan pakaian disana dan keluar kamarnya.

Lampu seluruh ruangan sudah padam karena malam sudah terlalu larut. Berjalan pelan menuju dapur, Dayu menuangkan air ke dalam gelas. Dia tepekur di depan kulkas, memegang erat gelas dengan tangan gemetar. Dia begitu membenci Sabta. Benci sampai dia mati! Dan sebelum dia mati dengan kebencian ini, dia harus pergi dari sini.

Ruang makan tiba-tiba dibanjiri cahaya terang diikuti dengan seruan. "Kamu ini bodoh atau apa?"

Dia menoleh dan mendapati ibu mertuanya berkacak pinggang "Sengaja mau bikin mama cepat mati? Hidupin lampunya! Gimana sih?" ocehnya dengan suara keras.

"Maaf, Ma." ucap Dayu.

"Minggir," ketusnya. "Untung nggak mama kira maling!"

Dayu membawa tubuhnya menjauh dari depan kulkas dan mengambil tempat di ujung meja makan. Dia memerhatikan mertuanya itu, salah satu yang membuatnya bagai di neraka. Kenapa dia bisa menganggap ini kesalahan Dayu? Anak lelakinya itulah yang menyebabkan semua ini! Kenapa dia seperti tuli saat mendengar cerita tentang kejadian malam itu. Sabta yang memaksanya minum alkohol yang waktu itu diakuinya sebagai air putih biasa. Sabta yang membawanya ke apartemen, mengatakan bahwa Dayu bisa istirahat dulu malam ini. Sabta yang kembali mengangsurkan botol minuman padanya, memaksanya minum.

"Sekali lagi kamu kayak gini, jangan salahin Mama kalau kamu pingsan mama pukul!" setelah meminum air putihnya, perempuan tua itu pergi dari dapur.

Saat Dayu kembali dari dapur, Sabta masih di depan meja kerjanya. Dayu baru tahu kalau Sabta susah tidur.

"Kenapa lagi mama?" dia bertanya.

Dayu melihatnya sebentar. "Tidak apa-apa,"

"Nggak mungkin nggak ada apa-apa. Suaranya kenceng banget gitu!"

Dayu menarik selimutnya dan menjatuhkan diri ke ranjang, mengabaikan Sabta.

"Jangan cuek gitu, Yu! Kamu yang akan menderita!" ancam Sabta. "Ini yang pertama dan terakhir aku ingetin kamu!"

🍃

Kalau bisa, Dayu tidak ingin bangun lagi di pagi hari. Hari yang panjang hanya akan membuatnya berdosa pada orang tua. Orang tua Sabta. Lebih tepatnya pada Mama Sabta. Papa Sabta tidak terlalu rusuh dengan kehadirannya, mungkin yang penting bagi lelaki itu adalah nama baiknya. Urusan dia menyukai menantunya ini atau tidak bukan masalah. Lagipula, sebagian besar waktu Pak Nugraha memang dihabiskan di luar rumah.

"Sudah berapa kali aku bilang, Yu. Kopinya kemanisan!" rutuk Sabta di meja makan.

Dayu berdiri, mengambil cangkir kopi Sabta.

"Makanya jangan ngerjain apa-apa. Nggak ada yang becus. Sejak Sabta nikah sama kamu, perasaan mama emosi terus deh!" mertuanya mulai lagi.

"Saya aja, Mbak." Bi Ulya menawarkan diri membuatkan kopi untuk Sabta.

"Tidak apa-apa. Saya saja, Bi." tolak Dayu. Dia mulai menyeduh kopi baru untuk Sabta. Kali ini, dengan sedikit gula.

Sabta segera meneguk kopi baru yang dibuat oleh Dayu. Setelah meneguknya sedikit, dia melihat Dayu. "Coba kamu yang minum!" dia berdiri dan mendekati mamanya, mencium kening mamanya dan berujar "Aku berangkat dulu, Ma!"

Apalagi yang salah? pikir Dayu.

Tangannya terulur untuk mengambil kopi Sabta dan meminumya. Dia meringis dan merasa ini terlalu pahit. Dia mengeluh dalam hati, lalu berdiri mengikuti Sabta menuju garasi mobilnya. Meskipun Sabta tak pernah memperhatikan apa yang dilakukannya, Dayu setidaknya merasa telah berbuat baik dengan mengantar kepergian suaminya tiap pagi.

🍃🍃🍃🍃🍃

Ini tidak akan selamanya

🍃

DAYA (PUBLISHED ON KK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang