BRIDGE

80.3K 7.7K 173
                                    

Dayu membereskan peralatan menjahitnya saat jam sudah menunjukkan pukul lima kurang. Setelah merapikannya, dia dan Stacey menggantung gaun di dalam lemari kaca. Kemudian, mereka membersihkan ruang produksi bersama para pekerja lainnya.

"Gimana tadi menyambungnya?" tanya Stacey sambil menjahit kain perca dengan antusias.

Dayu mengambil jarum dan benang dari tangan Stacey dan membuat teknik sulaman yang berhasil dikuasainya setelah dua hari berlatih. "Buat apa ini?"

"Dayu?"

Dayu dan Stacey sama-sama menoleh ke arah pintu. Wanda tersenyum pada mereka. "Ada yang mau bertemu denganmu di depan."

"Aku?" Dayu tak percaya. "Siapa?"

Tak banyak orang yang dia kenal di kota ini. Siapa yang tiba-tiba datang menemuinya?

"Ayo,"

Dayu segera mengikuti Wanda dan berjalan ke depan. Saat sudah dekat, Dayu menelan ludah. Ada keperluan apa Kakak Sabta menemuinya?

"Halo, Cantik." sapanya ramah seraya memeluk Dayu singkat.

"Kak Inas," balas Dayu.

"Jadi, aku sudah minta ijin mama mau ngajakin kamu keluar sekarang. Sudah selesai, kan?"

Dayu menoleh ke belakang dan melihat jam. Dia melihat Sahinas dan mengangguk samar. "Sepuluh menit lagi." katanya.

Dia mengibaskan tangannya, "It's okay." katanya seolah sepuluh menit tidak begitu penting. "Ambil tas kamu, kita pergi sekarang."

"Kemana, Kak?" tanya Dayu yang masih berdiri di tempatnya.

"Cuma jalan-jalan dan ngobrol. Aku tunggu di luar ya,"

Sahinas masih mengenakan pakaian rapi, seperti yang selalu dia kenakan saat muncul di tv. Dia menyupir dengan santai sambil sesekali bercerita tentang pekerjaannya yang ternyata cukup melelahkan. Dayu kira menjadi pembawa berita itu mudah sekali. Tinggal duduk dan baca apa yang tertulis. Tapi, rupanya bukan hanya itu. Ada banyak hal dibelakang itu semua. Masalah mic, penyampaian yang baik, belum lagi kalau dialog bersama pakar. Pembaca berita dituntut untuk peka pada topik dan hal yang lainnya.

Dua puluh menit, mereka tiba di sebuah taman yang tak terlalu jauh dari butik, sesuai permintaan Dayu. Dia berjalan di sebelah Sahinas dan mengikuti kemana saja dia pergi. Sahinas memegang tangan Dayu dan mendekati bangku yang disusun melingkari sebuah pohon rindang.

Taman kecil yang terletak di dekat perumahan elit ini ramai saat sore hari, seperti kebanyakan taman. Ada lapangan basket yang sedang dipakai anak remaja. Juga hamparan rumput tak jauh dari mereka duduk, yang diisi keluarga.

"Kamu capek, nggak?" tanyanya

Dayu menggeleng. "Tidak, kenapa Kak?"

"Aku dulu waktu hamil muda mudah banget capek,"

Dayu menelan ludah. Inikah maksud jalan-jalan ini?

Dia memutar duduknya menghadap Dayu. "Mama cerita soal keadaan kamu sekarang," dia mengambil tangan Dayu. "Aku tahu ini benar-benar nggak mudah, Yu. Kalau aku diposisimu, akupun nggak tahu harus ngapain. Tapi, waktu tahu kamu masih kerja dan melakukan hal-hal yang positif, aku yakin kamu lebih kuat dari pada yang kukira."

Dayu tersenyum tipis. "Aku juga tidak tahu, Kak."

"Kamu harus yakin, Yu, kalau kamu bisa melewati ini. Kamu bisa cerita apa saja sama aku, Yu. Aku nggak punya adik perempuan," dia tertawa. "Dan aku suka sama kamu."

"Kak Inas,"

"Kamu harus kuat, Yu. Untuk anak kamu. Anak kalian. Jangan pernah berpikir untuk melepaskannya, kamu tahu kenapa? Ada banyak orang lain yang begitu ingin punya anak tapi nggak bisa. Ini adalah anugerah." dia memegang perut Dayu. "Kamu akan merasa istimewa saat mengandung. Ada keajaiban yang terjadi dalam hidupmu, Yu. Kamu akan tahu sendiri rasanya nanti. Dan saat dia lahir, tak ada kebahagiaan tertinggi dari pada memeluknya, Yu."

DAYA (PUBLISHED ON KK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang