HUNGRY

74.2K 7.3K 91
                                    

"Kalo dari sini ke rumah sakit Prima Medica gimana ya?"

"Kamu ngapain ke rumah sakit?"

"Umh, ada perlu."

"Kamu mau naik apa? Kalau naik taksi gampang, tinggal bilang aja ke supirnya."

"Naik bus. Dari halte di depan itu,"

"Oh," Stacey menghela nafas dan menegakkan punggungnya. "Kamu mesti ganti bus. Dari sini ke halte Keraton II. Nanti dari situ naik bus lagi ke halte PM."

"PM?"

"Prima Medica, Dayu." Stacey tertawa. "Kamu mau aku temenin? Aku nggak ada kerjaan juga nih. Kita bisa naik taksi, ongkosnya kita bagi dua,"

Dayu menggeleng. "Tidak usah, terima kasih. Lagian, aku tidak berencana ke sana sore ini."

"Kenapa nggak pergi sama anaknya Bu Wulan aja? Suamimu?"

"Umh-" Dayu menelan ludah. "Dia kerjanya sampai malam."

Saat pertama menjalani pemeriksaan dan mengetahui keadaanya, Dayu jelas terpuruk. Dia tidak bisa menerima ini. Apa kesalahannya sampai dia dibebani cobaan ini? Apakah karena dia melakukan hal yang tidak seharusnya dengan Sabta malam itu? Lalu, kenapa bukan Sabta saja yang sakit. Dia hamil, tapi kenapa Sabta baik-baik saja? Apa ini hukuman bagi Dayu lantaran dia tidak berbakti pada Sabta? Dayu mendengus, ada aturannya juga jika suami ingin ditaati, kan? Masa pria macam Sabta itu harus ditaati. Dia gila!

Menyadari tak ada juga yang bisa dia lakukan, Dayu mencoba menjalaninya saja sekarang. Meski jelas, dia merasa makin sering lelah belakangan ini, nafsu makannya hilang timbul, susah mengontrol emosinya, juga makin sering sesak nafas. Jangan tanya apa pernah dia ingin melepaskan calon anaknya ini? Tentu saja jawabannya iya. Saat pertama dia tahu dia hamil, dia ingin kehilangannya juga saat itu. Dia tidak mau hamil, apalagi anak Sabta. Tapi, tiba-tiba kakak Sabta datang padanya, menyuruhnya bersyukur atas karunia ini. Lalu, Mama Sabta yang kini agak perhatian padanya, entah karena calon cucunya ini atau karena dia mau mati. Dan satu lagi, Sabta tak pernah memintanya melepaskan janin ini.

Dia duduk di kursi ruang makan, memainkan bibir gelas berisi susu. Dia tidak mual di pagi hari seperti kebanyakan ibu-ibu atau ingin bermanja dengan Sabta. Dia bisa menggantung dirinya sendiri jika dia melakukan itu. Tak ada yang menarik dari Sabta hingga membuatnya menjadi ingin lebih dekat dengan Sabta. Tapi, Dayu juga menyadari bahwa ini adalah anak Sabta. Mungkin saja, nanti anak ini ingin perhatian dari Sabta. Ingatkan Dayu jika saat itu datang, dia harus sudah keluar dari rumah ini.

"Matiin aja tv kalo nggak ditonton!" itu kata pertama Sabta saat dia masuk ke dalam rumah. "Nggak tahu ada kampanye hemat energi?"

Dayu terkesiap dan langsung menoleh padanya. Lelaki itu melepas jas dan menekan remote tv. Benda pipih itu menjadi hitam dalam sekejap. "Ngapain kamu di situ?"

Dia melihat Sabta yang berjalan mendekat. "Ngapain kamu?" ulang Sabta.

Dayu menggeleng. Lelaki itu berdecak lalu berjalan ke kamar. Tak lama kemudian, dia keluar dengan seragam olahraga.

"Aku mau main futsal. Kamu nggak usah nungguin."

"Sejak kapan aku nungguin kamu?" tanya Dayu. Main futsal jam sembilan, mau selesai jam berapa? Percaya diri sekali Sabta bahwa Dayu akan menunggunya. Lebih baik dia tidur.

"Kaos kaki aku mana, yang minggu kemaren kupake?" tanya Sabta saat tak menemukan kaos kaki di ruang cuci.

Dayu mendesah. "Cari dulu baik-baik, baru tanya." oceh Dayu sambil mengambil gelas berisi susu dan menumpahkannya ke kitchen sink.

"Itu kenapa dibuang? Dibeliin untuk diminum, bukan dibuang!" cecar Sabta.

"Rasanya tidak enak, bikin mual."

"Ya memang gitu kali. Memang kalo kamu mual kenapa? Bagus dong, ngerasain juga kamu mual-mual." Sabta mengangkat alisnya. "Mana kaos kaki aku?"

Dayu berbalik dan menatap Sabta tajam. Dia lalu berjalan ke ruang cuci dan membuka lemari kecil, dimana dia menyimpan pakaian dengan ukuran kecil di sana. "Tidak lihat? Kaos kaki kamu di sini semua!"

Sabta mengulurkan tangan dan mengambil sepasang kaos kaki olahraganya. "Mana kutahu kalau disimpan di lemari. Biasa juga ditumpukan situ," dia membela dirinya sambil berlalu.

"Baju kamu nanti langsung masukin ke keranjang!" pesan Dayu

Sabta mendengus. "Pinter banget kamu sekarang merintah aku,"

"Cuma ngingetin. Daripada nyuci sendiri, kan lebih enak naruh baju kotor di keranjang."


Sabta meluruskan pinggangnya sambil menarik nafas panjang. Dia letakkan pakaian kotor di ruang cuci sesuai perintah Dayu dan berjalan ke dapur. Perutnya belakangan benar-benar tak bisa diajak berurusan dengan baik. Dia baru saja makan nasi goreng setelah main futsal tadi. Kenapa sekarang dia sudah lapar lagi? Dia membuka kulkas dan menemukan buah yang tak mungkin membuatnya kenyang. Jadi, tangannya membuka tudung saji di atas meja dan menelan ludah. Masakan Dayu masih ada di sana. Mungkin dia hanya perlu menghangatkan sop ayam itu. Atau tidak perlu?

Dia mengambil piring dan mengambil nasi. Tidak perlu dipanaskan, langsung dimakan saja. Sabta lega karena dia menemukan apa yang dia butuhkan. Sepiring nasi, sop ayam, dan perkedel membuatnya bisa tidur lelap malam ini. Setelah selesai, dia membersihkan dirinya, menukar pakaian dan membaringkan tubuhnya di sofa depan tv.

"Mau berapa lama lagi aku tidur di sini?"

🍃🍃🍃🍃🍃








READ. VOTE. COMMENT. RESPECT. thanks

DAYA (PUBLISHED ON KK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang