SHOCK

80K 8.1K 183
                                    

Dayu seperti kehilangan kemampuan syaraf saat mendengar apa yang dikatakan Rully. Tak ada yang bisa dia terima. Kehamilan itu sama sekali tidak diharapkannya. Dia yang bodoh. Lalu, kanker paru-paru? Dulu, dikampungnya ada yang terkena paru-paru basah dan meninggal dua bulan kemudian. Kanker dalam pengetahuan Dayu tentu lebih parah dari paru-paru basah.

"Apa parah?" tanya Sabta.

"Sudah menyebar walau belum mengenai jaringan, hanya saja sudah ke dekat jantungnya. Kankernya akan makin menyebar ke dada dan jantung." dia melihat Sabta. "Aku minta maaf harus mengatakan ini."

"Aku tidak paham." gumam Dayu. Dia melihat gambar yang ditunjukkan Rully tanpa minat.

"Pengobatannya masih seperti yang dokter jelaskan kemarin?"

"Ada banyak jenis pengobatan sekarang. Kemoterapi masih dipilih kebanyakan pasien. Kita harus menunggu sampai usia kandungannya mencapai tiga bulan lebih, untuk kemo. Jika kankernya tidak agresif, kemo bahkan bisa ditunda."

"Aku akan mati?" tanya Dayu.

"Dayu," panggil Rully. "Jika pengobatannya tepat, tidak akan terjadi apa-apa. Kita bisa memperlambat perkembangannya. Kamu bisa dioperasi setelahnya dan baik-baik saja. Ada banyak survivor sebelum kamu. Jangan pikirkan yang tidak-tidak. Ditambah, kamu sedang hamil. Pikiran seperti itu akan membuat calon anak kalian sedih."

Dayu mendengus. Sabta memejamkan matanya sesaat, lalu mengambil nafas panjang.

"Kamu bisa melawannya, Dayu!"

"Kapan pengobatannya bisa dimulai?" tanya Sabta.

"Secepatnya. Aku akan antar hasil pemeriksaan ini pada dr. Omar, dia akan mengambil alih. Dia dokter spesialis paru. Kamu tenang saja. Dia juga yang akan berkonsultasi dengan dokter lainnya. Aku juga akan ikut. Untuk sekarang, kamu pastikan Dayu tidak stres. Dia tidak boleh tertekan, Sabta."

"Dayu?" panggil Sabta.

Dia melihat Sabta. "Aku mau pulang," katanya kemudian.

🍃

Ruang tv rumah Sabta senyap seketika saat dia sudah menyampaikan keadaan Dayu pada kedua orangtuanya yang sengaja dia minta untuk datang. Wulan berdiri, menuju dapur dan mengambil air putih. Diteguknya cepat, lalu dia duduk di kursi ruang makan.

"Kamu yakin dia sakit? Hasilnya nggak ketukar dengan dengan orang lain, kan?"

Sabta melengos tak percaya. Ini pasti akibat drama yang ditonton mamanya tiap malam. "Ma, they are professionals. Yang kayak gitu cuma ada di tv."

"Dimana Dayu?"

"Di kamar, lagi tidur." jawab Sabta.

"Senang kamu?" tanya papanya.

"Maksud Papa?"

"Sab, kamu itu anak Papa. Kamu ceritakan semua mimpi dan keinginanmu ke Papa. Menikah dengan Dayu bukanlah mimpimu, bahkan sampai hari ini. Semuanya bisa lihat bagaimana kamu memperlakukan dia. Dan kenyataan bahwa dia akan pergi, apa kamu senang?"

Sabta menelan ludah. Ya, ada rasa senang yang hadir, tapi ada perasaan yang lebih besar. Rasa iba pada Dayu.

"Papa!" sergah mamanya. "Jangan bicara seperti itu,"

"Mama juga!" potong papanya. "Bersikap seperti ibu mertua tiri padanya."

"Itu nggak penting sekarang," kata Sabta. "Dayu harus disembuhkan."

"Sab, kanker paru nggak bisa disembuhkan,"

"Kata siapa?" desak Sabta. "Papa bukan dokter!"

Nugraha menghela nafas. "Tugas kamu berat kalau begitu. Dia hamil dan mengidap kanker. Papa nggak tahu siapa yang mau kamu selamatkan."

DAYA (PUBLISHED ON KK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang