FILE

87.3K 8.2K 104
                                    

Apartemen Sabta memang sudah bersih. Mereka hanya perlu menambahkan hal yang membuat aparteman itu berpenghuni. Gorden, lampu yang sudah diperbaiki, juga beberapa hal kecil yang sudah disiapkan Sabta.

Dayu duduk di sofa setelah dia menyusun beberapa keperluan di dapur. Padangannya lalu jatuh pada koper mereka yang masih ada di dekat TV. Sabta sedang mengantar para pekerja ke pintu.

"Bawa koper kamu ke sana," Sabta menunjuk sebuah ruangan saat dia sudah menutup pintu.

Dayu berdiri, mengambil kopernya dan menuju ruangan yang dikatakan Sabta. Dibuka pintu dan dia tertegun. Dia akan tidur di sini? Masih jelas dalam ingatan apa yang terjadi di kamar ini hari itu.

"Nggak ada pilihan lain," kata Sabta di belakangnya. "Kamar yang satunya aku jadiin gudang. Masuk!" perintahnya.

"Aku beresin kamar satunya lagi!" Dayu berbalik, mundur menjauhi Sabta.

Sabta berdecak. "Terserah kamu!" Sabta mendorong pintu agar terbuka lebih lebar dan dia melangkah masuk.

Dayu segera melangkah ke ruangan lainnya sambil menarik kopernya. Diputarnya kenop pintu dan bahunya merosot seketika. Bagaimana bisa Sabta mempunyai barang sebanyak ini untuk apartemen ukuran sedang? Bagaimana Dayu bisa membereskan ruangan ini? Dia bahkan tahu tidak mampu memindahkan lemari kayu ukiran besar itu.

"Butuh bantal?" tanya Sabta saat Dayu muncul di kamarnya lagi.

Dayu menggeleng. "Aku tidur di sofa," katanya saat melihat sofa di dekat jendela.

Sabta berdecih, "Kamu lihat ranjang sebesar itu?" tunjuk Sabta. "Nggak akan ada hal bahaya yang terjadi, Dayu! Don't be childish!" desis Sabta.


Dayu terbangun dengan batuk yang terasa melukai tenggorokannya. Dia mengusap dadanya, berusaha mengambil nafas agar batuknya berhenti. Namun, dorongan dari paru-parunya luar biasa kuat hingga matanya berair.

"Ke kamar mandi gih, ganggu aku mau kerja."

Antara dengar dan tidak, Dayu jelas tahu Sabta tidak ada di ranjang sekarang. Barangkali pria itu ada di meja kerja dekat jendela.

"Dayu, berisik!"

Dayu menyeret tubuhnya untuk berjalan ke kamar mandi. Dia menutup pintu, duduk di kloset dan masih berusaha menghentikan batuknya. Dia mengadah, menepuk dadanya dan mengambil nafas diantara desakan parunya.

Dayu mengusap ujung matanya, bernafas makin teratur saat batuknya mulai berkurang. Dia menyandarkan punggungnya masih mengatur ritme udara yang harus dimasukkan dan dikeluarkan. Diusapnya dada perlahan, lalu bangkit. Membuka pintu kamar mandi, dia mendapati Sabta benar di depan meja kerjanya. Mata mereka bertatapan, sebelum Dayu menunduk dan melewati Sabta untuk keluar kamar.

Di dapur, dia menuang air putih dalam gelas besar dan menghabiskannya. Namun, batuk itu datang lagi, membuat Dayu terduduk lemas di lantai dengan air putih yang tumpah di dekat meja makan. Dia menekuk lutut, membebaskan suara batuknya yang memang menganggu.

"Kena- kenapa sih?" keluhnya, lalu mengambil nafas lagi. Dia seperti kehabisan semua energi dari tubuhnya.

Berpegangan pada kursi makan, Dayu bangkit. Mengambil kain pel untuk membersihkan air yang tumpah.

"Kamu ngapain, sih?" tanya Sabta yang sudah hadir di dapur.

"Ngepel! Tidak lihat?" balas Dayu sebal.

"Ya apa kerjaan kamu sampai numpahin air malam-malam begini?" dia berdecak.

Dayu mendengus, mengabaikan Sabta yang sepertinya juga kehausan.

DAYA (PUBLISHED ON KK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang