PLAN

79.6K 7.8K 364
                                    

Harusnya Sabta melonjak bahagia saat Dayu mengatakan keinginannya untuk pulang ke kampungnya. Itu artinya, dia akan bebas. Dia akan datang pada Rachel dan mengatakan semuanya. Bahwa dia dan Dayu sudah berakhir. Tapi, kenapa Sabta malah terdiam di posisinya sekarang, tak percaya bahwa Dayu akan menyerah secepat ini. Apa karena dia semalam terlalu melampaui batas? Oke, dia ingin mencelakai Dayu, tapi dia mabuk.

"Bisa?" tanya Dayu.

Sabta menelan ludah, lalu mendengus. "Bagus banget! Mau kabur begitu aja? Setelah kamu berantakin hidupku yang sempurna, membuatku membayar tagihan rumah sakit ini, kamu sekarang minta diantar ke stasiun? Makanya aku ragu kamu itu punya otak atau nggak? Memangnya aku mau ngantarin kamu? Sampai matipun aku nggak mau!"

"Aku bisa naik taksi. Aku minta ijin."

Sabta melipat tangan di dadanya. "Semudah itu kamu pikir untuk lari? Rumah masih berantakan, kamu masih sakit begini, mau pergi? Mau mati di jalan kamu?"

Pandangan mereka lalu pindah pada pintu yang terbuka. Mama Sabta masuk dan segera mendekati Sabta. "Gimana keadaannya? Nggak papa?" tanyanya.

"Iya," jawab Sabta. "Ini juga udah mau pulang. Turun." perintahnya pada Dayu.

"Kamu ini gimana, ya ditolong dia turun, nggak inget kamu sakit kemarin diurusin sama Dayu?" Sabta menoleh ke belakang dan mendapati papanya masuk.

"Dia bisa sendiri kok, Pa." ujar Sabta.

Dayu mengangguk dan turun dari ranjang. Dia menyalami orang tua Sabta dengan hormat.

"Maaf bikin Mama sama Papa repot kemari, Dayu baik-baik aja."

Sabta mengangguk pada mama dan papanya, ingin memberi tahu bahwa Dayu baik-baik saja.

"Dayu baik-baik aja. Mama sama Papa nggak usah cemas. Dayu ke toilet dulu,"

"Kenapa tiba-tiba masuk rumah sakit istrimu?" tanya Nugraha sambil duduk di sofa.

"Suhu tubuhnya turun drastis,"

"Dia sakit sebelum ini?" Mama Sabta bertanya.

"Nggak." jawab Sabta. "Nggak tahu kenapa, mungkin ac terlalu dingin." dia ngasal.

"Nggak ada hubungannya! Gimana sih?" omel mamanya. "Ya udah, mama mesti ke rumahmu atau nggak?"

"Ngapain? Dia baik-baik aja kok. Tidur sebentaran juga pulih," kilah Sabta. "Mama sama Papa langsung pulang aja."

"Kamu urus dulu administrasinya, kita jagain Dayu di sini."

"Kenapa Mama jadi peduli gini sama Dayu?" Sabta penasaran. Apa kalau mamanya tahu Dayu mengidap kanker, dia akan jadi ibu peri bagi menantunya ini?

"Nggak usah ngomong yang aneh-aneh," ujar Wulan. "Sana pergi."

"Sekalian aja sama Dayu, biar bisa langsung pulang. Cuma bayaran, kan? Nggak akan lama."

Dia harus membuat rencana. Bagaimana caranya sekarang? Dia akan berpisah dengan Dayu, mungkin akan lebih cepat dari perkiraannya. Dia hanya menargetkan satu tahun saja dan lihat. Doanya dikabulkan.

"Bu Dayu punya jadwal check up dua hari lagi," suara perawat itu membuat Sabta menoleh.

"Kenapa?" tanya Dayu tiba-tiba. Dia sudah pulih dan diijinkan pulang. Kenapa dia perlu datang lagi kemari?

"Udah, nurut aja." potong Sabta.

"Saat pemeriksaan, ada surat penyataan yang harus ditandatangani, Pak. Silahkan bapak datang juga," dia melihat Sabta dengan pandangan menyesal.

Sabta mengangguk, kemudian menerima bill. Dia mengeluarkan kartu dan menyelesaikan pembayaran di depan Dayu. Sebelum menuju mobilnya, Sabta masih harus ke apotek menebus obat. Orang tuanya sudah menunggu di dekat mobil Sabta saat mereka tiba di parkiran. Wulan segera mengatakan pada Dayu kalau dia bisa istirahat di rumah sebelum kembali bekerja.

Sabta meninggalkan kedua orang tuanya di laman parkir dan segera menuju rumahnya. Dia melirik Dayu sesekali, menyadari perempuan itu berusaha menjaga jarak dengannya. Tubuhnya hampir terjepit ke pintu, saking dia ingin berjauhan dengan Sabta. Atau tangannya yang keparat ini. Satu jam mereka butuhkan untuk sampai di apartemen. Dayu masuk lebih dulu dan dia langsung membuka kamar tamu yang dijadikan gudang oleh Sabta.

"Kamu ngapain?" tanya Sabta saat dia melihat Dayu menggeser beberapa benda di dalam situ.

"Aku tidur di sini," kata Dayu.

Sabta mendesah, "Dayu, itu gudang! Banyak debunya, ngapaian kamu tidur di situ?"

"Aku nggak mau tidur di kamar kamu!" kata Dayu langsung.

"Aku mabuk, Dayu!" ujar Sabta. "Itu kecelakaan!"

"Kecelakaan?" ulang Daya. "Kalau aku mati malam tadi, kamu akan bilang itu kecelakaan. Terima kasih!" Dayu bersikeras memindahkan barang.

"Aku mabuk, for God's sake. Aku marah! Itu nggak akan terjadi lagi!" bentak Sabta. "Aku janji!"

Dayu bergeming. Dengan tenaganya, dia menggeser sofa yang menutupi jendela.

"Aku tidur di luar!" kata Sabta. "Kamu tidur di kamar. Dayu!"

Dayu berbalik melihatnya. Kenapa tak terpikirkan kalau dia bisa tidur di sofa saja? Karena Sabta benar, debu yang beterbangan membuatnya sesak nafas.

"Aku akan tidur di depan tv." dia mengulang. "Keluar dan tutup pintunya." perintahnya.

"Sampai kapan? Selamanya?" tanya Dayu. Dia jelas tak mau jika hanya sehari Sabta tidur di luar. Dia merasa tak aman. Ditambah, Sabta tak mengijinkannya pulang kampung.

"Selama yang kamu mau!" Sabta menjawab dengan sedikit senyuman. Ini rencananya. Harusnya dia tahu, bahwa sekeras apapun Dayu, dia suka diperlakukan lemah lembut. "Aku janji!"

Begitu saja, Dayu meninggalkan kamar tamu. Sabta tertawa kecil. Dia mengambil kunci di belakang pintu, menutupnya, dan mengunci ruangan itu. Disembunyikannya kunci di tempat yang tak Dayu tahu.

Dia akan memainkan peran suami idaman sekarang. Dia akan membuat Dayu berpikir kalau dia merasa bersalah, tak ingin Dayu pergi dan menjadi malaikat untuknya. Ini mudah, karena Sabta sudah sering melakukan pekerjaan macam ini. Karena, oh Sabta ingin merayakan ini sebenarnya. Tapi, nanti. Tidak secepat ini.

"Dayu," ujar Sabta. "Have a nice day for the rest of your short life!"

🍃🍃🍃🍃🍃🍃















Bangsat tulen macem Sabta enaknya diapain, ya? 😏😏

DAYA (PUBLISHED ON KK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang