Dayu melihat jam digital dari ponselnya dan melengos. Sudah beberapa jam harusnya dia tiba di sini. Kalau saja anak mereka yang tidak tahu diri itu bisa bersikap dewasa, dia tak akan berlarian di jalanan sore ini.
Dayu merapikan pakaian, lalu rambutnya. Dia menarik nafas sebelum mengetuk pintu besar itu. Tak lama, pintu itu bergerak dan muncul pembantu Sabta. "Mbak Dayu, masuk." katanya seraya bergeser. "Yang lain nungguin di ruang makan,"
Dayu mengangguk lalu menuju ruang makan yang terdengar lebih berisik dari yang Dayu ingat. Dia mengucap salam, membuat semua menoleh.
"Ini dia nih, yang ditungguin. Tuan Putri." vokal mama Sabta yang paling dulu terdengar. "Sibuk apa sih?"
"Maaf, Ma. Tadi-"
"Ah, alesan aja!"
Dayu mengangkat kepalanya. Dia melihat Sabta, duduk menatap piring dengan minat tinggi.
"Tahu sekarang jam berapa?" tanya mama lagi.
"Duduk, Yu." ujar kakak perempuan Sabta. Dia menunjuk kursi di sebelah Sabta. "Ayo,"
"Kita belum makan malam gara-gara nungguin kamu. Kamu mikir nggak sih?"
Perempuan itu masih berdiri, "Maaf, Dayu lupa alamat ke sini, Ma, Pa."
Ruang makan itu sudah terisi lengkap oleh semua anggota keluarga Sabta. Dua kakaknya yang sudah berkeluarga juga hadir.
"Bilang aja kamu nggak mau datang, kan?"
"Ma, sudah. Yang penting Dayu sudah sampe. Duduk, Yu." Papa Sabta menujuk lagi bangku di sebelah putranya.
Dayu berjalan pelan, lalu mengambil kursi di sebelah Sabta.
"Masih kurang apalagi, Yu? Semenjak kamu masuk ke rumah ini kenapa semua jadi berantakan sih?"
"Ma, sudah. Ya ampun," kakak Sabta mencoba menenangkannya.
Dayu meremas jemarinya di bawah meja makan. Kepalanya dia tundukkan.
"Jadi, sedikit aja senengin kita! Kalau kamu lupa alamatnya, tanya! Kamu tau nggak kita nungguin kamu? Huh!"
Oh, apa wanita ini tahu kenapa dia tidak bisa bertanya? Apa dia tahu apa alasan anak lelakinya ini membuang handphonenya?
"Ma," potong Sabta. "Kita mulai aja makan malamnya. Kalau mau marah, bisa nggak di depan semua orang, kan?"
Dayu melengos, oh terima kasih sudah membelaku!
"Naik apa tadi ke sini?" kakak Sabta bertanya lagi.
"Taksi, Kak." kata Dayu.
"Tuh kan bisa naik taksi, kenapa nggak pergi lebih cepat?"
"Sekarang sudah nggak lupa kan alamat rumah ini?" tanya papa.
Dayu mengangguk.
"Baguslah. Besok-besok kalau kamu nggak bisa pergi bareng Sabta, hubungin Mas aja, ya. Nanti dijemput," ini suara Abang Sabta yang tertua.
"Iya, Mas. Makasih,"
"Enak banget, kan, Dayu?" tutup mama Sabta.
Dayu mengunci dirinya di dalam kamar mandi sejak dua puluh menit yang lalu. Airmatanya tidak bisa lagi dia tahan. Meski dia selalu berusaha menganggap ocehan mertuanya itu sebagai angin lalu, tapi perasaannya tidak bisa dia bohongi. Rasa sakit itu begitu terasa. Setelah dia membantu membereskan makanan dan mencuci peralatan makan, dia pamit ke kamar kecil.
"Yu, Dayu," panggil Sabta dari luar.
Dayu mengelap air matanya dan menarik nafas panjang.
"Yu, buka pintunya!" dia menggedor pintu kayu itu. "Dayu, kamu dengar, kan? Buka pintunya!"
Dayu berdiri dan membuka kunci pintunya. Sabta menatapnya dengan pandangan yang jarang ditangkap Dayu.
"Ayo pulang," katanya. "Kita pamitan sama mereka."
Dayu mengikuti Sabta ke ruang keluarga. Sungguh, Dayu ingin bergabung dengan mereka. Dia ingin bermain dengan keponakan Sabta yang sangat imut itu, atau mendengar cerita kakak Sabta yang berprofesi sebagai news anchor di TV nasional. Tapi, dia sudah kehilangan hasrat untuk berada di tengah keluarga ini.
"Kami mau pulang duluan," ujar Sabta sambil mendekati mamanya, mencium pipinya.
"Kenapa cepat sekali?" tanya abang Sabta. "Duduk dulu sebentar,"
"Ada kerjaan," kata Sabta. " Ayo, Yu. Pamitan dulu."
Dayu menyalami anggota keluarga Sabta. "Kalau mau jadi istri yang baik, ya ikutinlah kata suami," pesan mama Sabta sambil menerima uluran tangan Dayu.
Dayu mengangguk, "Maaf, Ma." ujar Dayu sambil berpamitan dan menyusul Sabta keluar.
Saat Dayu sudah menutup pintu mobil, Sabta segara melajukan mobilnya.
"Aku capek," kata Dayu saat Sabta mencoba membuka pembicaraan ketika mereka sampai di rumah.
Dayu secara literal memang sudah kehabisan energi. Satu-satunya tempat yang ingin dia tuju saat ini adalah tempat tidur. Dia cepat membersihkan dirinya di kamar mandi, berganti pakian dan merebahkan diri di ranjang. Sabta duduk di kursi kerjanya, memandangi Dayu.
"Yu," panggilnya lagi.
"Besok pagi aja," kata Dayu menarik selimut dan memajamkan mata. Dia tidak peduli, bahkan jika Sabta memarahinya kali ini, dia hanya akan tetap tidur. Jika mengganggu sekali, dia akan keluar dari kamar ini. Tapi, sayup akhirnya Dayu mendengar suara dari kamar mandi.
Sabta juga tak tahu bagaimana cara menanyakannya. Bagaimana cara Dayu sampai ke rumahnya malam ini. Ada banyak yang ingin ditanyakan Sabta, tapi waktunya sedang tidak pas. Entahlah, mungkin Dayu berkata yang sebenarnya. Dia lelah. Sabta mengusap kepala dengan handuk dan memerhatikan Dayu yang sepertinya sudah tidur.
Pelan, Sabta mengambil tas kecil Dayu di sofa dekat jendela. Dibukanya benda itu dan dia menelan ludah saat mendapati ponsel Dayu di dalamnya. Keadaannya juga membuat Sabta kaget. Layar ponsel itu pecah mengerikan. Tidak terkunci dan masih aktif, jadi Sabta memeriksa apa yang ada di dalamnya. Seberapa sering dia berinteraksi dengan Noah?
Sabta melirik Dayu sekilas sebelum dia memeriksa aplikasi perpesanan di ponselnya. Sabta langsung duduk di sofa saat melihat tak ada sama sekali obrolan dengan Noah. Sejauh ini, Dayu hanya mengobrol dengan ibu Alana dan Hera dari unit 103 dan 104. Jelas, pesan itu baru dikirim pada sore tadi. Sabta menggeleng, lalu memeriksa log panggilan Dayu. Disini, baru dia mendapati nama Noah sebagai orang yang terakhir ditelepon dan menelepon Dayu. Tanpa berpikir panjangpun Sabta tahu, Noahlah yang memberi tahu alamat rumah mamanya. Sudah pasti.
Sabta memasukkan lagi ponsel ke dalam tas dan mengusap wajahnya.
🍃🍃🍃🍃🍃
Biar tau rasa dia
🍃
a.n: Sabta dan ibunya memang saya bikin bacot dan kejam. So, bear with them.
KAMU SEDANG MEMBACA
DAYA (PUBLISHED ON KK)
ChickLit⚠SEBAGIAN BESAR PART SUDAH DIHAPUS⚠ Sabta hanya tahu perempuan inilah yang menghancurkan semua rencana masa depannya. Menggagalkan pernikahannya dengan Rachel- yang mana membuatnya kehilangan posisi penting di kantor. Dia bersumpah pernikahan ini ak...