MOVE

94.1K 7.7K 140
                                    

"Kamu sibuk?" ujar Dayu.

Sabta mengangkat kepalanya. Dahinya berkerut saat melihat Dayu berjalan menuju ke arahnya, lalu berlutut di sampingnya.

"Maaf, tapi boleh aku minta sesuatu?"

Sabta makin mengerutkan dahinya. Ini bukan Dayu yang dia tahu. Dayu selama ini tidak pernah bersikap rendah seperti ini di depannya. Meski dari desa, Sabta tahu kalau Dayu punya harga dirinya yang tinggi. Jadi, saat wanita itu bersimpuh di dekatnya, menatap dengan matanya yang teduh dan meminta sesuatu, Sabta merasa ini penting.

"Apa?"

"Aku benar-benar minta maaf, tapi apa kita bisa pindah dari sini?"

"Kamu nggak suka tinggal disini? Kamu mau pergi, silakan! Silakan pergi dari sini Kemanapun kamu mau!"

Dayu menelan ludah. Dia sudah menduga begini hasilnya. Lalu, entah darimana keberanian itu datang, dia membuka suara lagi. "Apa aku benar-benar boleh pergi dari sini?"

Sabta mendengus. "Kamu mau ngetes aku? Dengar Dayu, kamu tahu kenapa kita berakhir seperti ini. Jadi, kalau kamu mau pergi dari sini, meskipun sudah sangat terlambat, aku nggak peduli. Pergi sana, hilang dari kehidupanku!" bentak Sabta seraya bangkit dan keluar kamarnya.

Dayu berdiri dan cepat membuka lemari pakaiannya. Dia menarik koper dan membukanya. Ada nomor telepon temannya disana. Dia bisa minta temannya itu menjemputnya. Dia sudah tidak tahan lagi disini. Tangan Dayu memeriksa semua kantong kecil dalam kopernya. Tapi, kertas itu entah dimana. Dia mencoba mengingatnya. Saat itu dia menelepon dari ponsel yang bisa dipinjam di terminal. Setelah itu dia memasukkannya ke dalam kantong.

Degup jantung Dayu berpacu begitu kencang saat dia meraih celana yang dikenakannya malam itu. Malam nahas yang membuatnya menderita seperti sekarang. Saat dia merasa menyentuh sesuatu, dia menarik nafas panjang.

Namun, suara pintu terbuka membuatnya menoleh. Sabta berdiri disana memandanginya. Koper dan pakaiannya yang berserakan. Lelaki itu tak percaya dengan penglihatannya. Dayu benar akan kabur. Apa wanita itu bodoh sampai berani pergi seperti ini? Dimana otaknya?

"Fuck!" serunya sambil meremas kedua bahu Dayu kencang. "Kamu benar-benar memancing amarahku, Yu!" matanya nanar. "Kamu nggak akan kemana-mana! Sialan!" dia menyeret tubuh Dayu dan mendorongnya ke ranjang. "Sialan!"

Dayu menatap Sabta ngeri.

"Kamu tadi-"

"Apa itu?" tanya Sabta melihat gumpalan kertas di genggaman Dayu. "Apa itu?" bentaknya.

Dayu memegangnya makin erat. Tak ingin Sabta mengambilnya. Sabta menarik tangan Dayu, memaksa untuk membuka genggaman tangannya. Meski buku-buku jarinya sudah memutih, kekuatan Sabta lebih besar dari Dayu.

"Siapa ini?" dia melihat deretan nomor ponsel di kertas itu. "Siapa ini?"

"Temanku," jawab Dayu pelan. "Teman yang harusnya aku temui malam itu,"

Sabta merobek kertas itu menjadi bagian kecil dan melemparnya ke udara. Dia melihat Dayu dan menggeleng, "Kamu nggak akan kemana-mana!"

"Apa lagi ini, Sabta? Dayu?" suara Mama Sabta terdengar di ujung pintu.

Sabta berbalik dan menemukan mamanya berdiri di depan kamar mereka. Dayu langsung bangun.

"Kenapa lagi kalian? Kenapa berantakan gini?" matanya memeriksa sekeliling lemari pakaian. Koper, pakaian, sobekan kertas. "Apa sih kerjaan kamu Yu, sampe yang kayak gini aja nggak bisa beresin?"

"Dayu sebenarnya-"

"Kita mau pindah," potong Sabta.

Kedua wanita di ruangan itu melihat Sabta. Mamaya heran, Dayu lebih heran. Mereka baru saja berkelahi tentang rencana pindah yang ditolak oleh Sabta. Sekarang, dia malah bilang mau pindah pada mamanya.

DAYA (PUBLISHED ON KK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang