DATE

78.4K 8.4K 550
                                    

Divote dulu yuk, biar yang nulis dan yang baca sama-sama bahagia

🍃


Menurut penilitian Helen Fisher, ada tiga tahapan hormon saat manusia jatuh cinta. Tahapan pertama adalah kesan yang tertangkap saat pertama bertemu dan pertemuan berikutnya. Ada kesan yang berubah menjadi pesona yang akhirnya menimbulkan romansa. Pada tahap kedua, muncul hormon phenylethylamine yang membuat manusia makin tertarik. Disinilah gelora dan gairah cinta menggebu-gebu. Pada tahap akhir, saat gelora cinta sudah mulai hilang, perasaan yang tertinggal adalah nyaman, damai, dan tenang.

Setidaknya, Sabta bisa merelasikan fakta yang baru dibacanya itu pada dirinya sendiri. Mungkin, dia tak merasakan secara langsung tahap satu dan dua. Atau tahap itu terjadi pada saat yang bersamaan, entahlah. Yang jelas, dia memang berada pada tahap ketiga sekarang. Dimana ada perasaan nyaman dan tenang saat bersama Dayu. Dia tak bisa menjelaskan darimana perasaan itu. Tapi, dia juga tidak bodoh untuk bisa merasakannya. Dalam diam-diam yang mereka lewati saat malam hari, atau ocehan yang selalu berseberangan antara dia dan Dayu, membuat Sabta merasa nyaman.

Ya, urusan cinta memang bisa dijelaskan secara kimia, tapi akhirnya dia tetap tak berdaya mengatasi cinta.

Sabta membuka pintu dan matanya menangkap Dayu duduk di depan tv dengan jemari menekan tombol pada remot berkali-kali. Dilepaskannya jas dan di dekatinya Dayu.

"Kenapa?" tanyanya defensif.

"Nggak apa-apa."

Sabta menggeleng, lalu masuk ke kamarnya. Dia tersenyum tipis saat tahu bahwa Dayu pasti merasa bosan seharian di rumah. Dia tak kemana-mana, bahkan saat kondisinya sudah pulih. Sabta tak mengijinkannya bekerja lagi, karena itu hanya akan membuatnya lelah. Pekerjaan apapun akan membuatnya lelah. Kemudian, satu ide muncul dalam kepalanya.

"Yu, keluar yuk." ajaknya.

"Kemana?" tanya Dayu malas.

"Kamu mau nonton nggak?"

"Ini aku lagi nonton," katanya.

Elah. Sabta menarik nafas. "Nonton film di bioskop. Kamu nggak bosan nonton itu-itu aja?"

"Bioskop?" Dayu melihat Sabta. "Beneran?"

Sabta mengangguk. "Iya, mau nggak?"

Dayu berdiri. "Mau."

Belum lagi sampai di bioskop, Dayu sudah merasa kelelahan. Dia menghabiskan waktunya mengitari mall saat sampai tadi. Ini pertama kali dia ke mall sebesar ini, dimana semua hal sepertinya dijual oleh manusia. Mengikuti Sabta, dia berpegangan pada tangan pria itu saat menaiki eskalator.

Wajah kagetnya bahkan tak bisa disembunyikan saat mereka sampai di pintu masuk bioskop yang dipenuhi oleh kerumuman orang. Dayu meringis. Kesan pertama menonton di bioskop tak seindah bayangannya.

"Duduk," Sabta membawanya duduk pada sofa di lounge. "Aku ke counter ambil tiket dulu,"

Dayu memerhatikan langkah Sabta yang bergerak maju ke depan, pada barisan yang berbeda dengan yang lainnya. Memadukan kaos, bomber jaket. jeans, dan sneakers, Sabta terlihat berbaur dengan rombongan pemuda yang berdiri di dekat poster besar. Mata Dayu menyipit saat Sabta mempersilakan dua orang wanita yang berdiri di belakangnya untuk maju lantaran dia harus menerima telepon. Dua perempuan itu tersenyum pada Sabta berterima kasih.

Sabta kembali dengan dua tiket di saku, pop corn besar dan air mineral di tangan. "Kita masuk sebentar lagi," terang Sabta.

"Aku tidak mau nonton," kata Dayu kemudian.

DAYA (PUBLISHED ON KK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang