FURY

78.1K 7.5K 116
                                    

Pertemuan dengan Rachel hanya menambah emosi Sabta pada Dayu. Anak bosnya itu makin menunjukkan rasa tak sabarnya pada Sabta. Dia juga tak menjamin akan setia jika Sabta tak memberikan kejelasan kapan dia akan berpisah dengan Dayu. Sabta yang memang pantang dipancing seperti itu, tak tahu harus melarikan kegundahannya pada siapa. Noah jelas sudah bosan mendengarnya. Lalu, saat dia kembali pulang ke rumah, mendapati Dayu tengah memainkan ponsel yang diberikan Noah, Sabta makin tak bisa mengendalikan diri.

Dayu segera menyimpan ponsel saat melihat Sabta masuk. Dia mengambil remot TV, menukar program. Dayu tak tahu Rachel itu siapa, dan kenapa Sabta begitu sering bertemu dengannya. Perempuan itu benar-benar tak mau tahu tentang hidup Sabta.

Sabta mendengus, "Munafik banget jadi orang. Awal dikasih nolak, sekarang nggak bisa lepas dari handphone."

Dayu diam saja. Tak perlu menanggapi sindiran Sabta, karena dia juga yang akan mengalah.

"Kamu suka sama Noah?" tanya Sabta berdiri di dekat sofa.

Dayu menggeleng.

"Murah banget kan kamu?" ujarnya. "Udah berapa cowok sih yang tidur sama kamu?"

Dayu menatapnya kali ini. "Bicara kamu kurang ajar!"

Sabta menyeringai. "Oh ya, kamu perawan waktu itu," dia tertawa. "Noah nggak keberatan kayaknya sama kamu. Aku tahu dia. Kami sudah temenan lebih dari sepuluh tahun, dan aku tahu kalau dia suka sama cewek. Kayaknya dia suka sama kamu,"

"Lalu?"

"Aku nggak keberatan kamu milih dia. Aku bersyukur," Sabta mengangguk. "Kamu boleh jalan sama dia."

Dayu menelan ludah. "Aku berusaha menjaga kehormatan kamu, tapi sepertinya kamu tidak." Dayu berdiri.

"Jangan lari, aku belum selesai."

Dayu bergeming, tetap melanjutkan langkahnya menuju kamar.

Sabta mengejarnya, menarik tangannya. Jegalan itu ditepis Dayu, membuahkan jegalan lain yang makin kuat di pergelangan tangannya yang lain. Sabta mengetatkan rahangnya. "Bagaimana aku harus melenyapkan kamu?" tanyanya.

Dayu menelan ludah, "Bunuh saja!" katanya.

"Terlalu mudah," Sabta menarik tubuh Dayu dan menghirup aroma tubuh Dayu dalam.

"Lepas!"

Begini.

Sabta menarik tubuhnya, lalu mencium bibir Dayu kasar. Tangan Dayu segera mendorong kepala Sabta kuat, sebelum dia menonjok perut lelaki itu. Sayangnya, pukulan Dayu tak berarti apa-apa, malah makin menambah geram Sabta. Jadi laki-laki itu mendorong tubuh Dayu ke tembok dan mulai menciumi leher Dayu dengan jegalan kuat pada kedua tangan Dayu.

"Lepas! Berhenti!" pinta Dayu. Tangannya mencoba menekan bekas luka Sabta akibat kecelakaan lalu. Tapi, sepertinya luka itu sudah sembuh.

Sabta seperti tak mendengar apa-apa. Ditekannya tubuh Dayu, hingga Dayu berteriak kencang. Sepersekian detik, teriakan itu dibungkam dengan ciuman Sabta. Dayu terpaksa menggigit bibir Sabta agar lelaki itu berhenti memperlakukannya seperti itu.

"Berhenti!"

"Buka!" geram Sabta saat bibir Dayu menutup kencang.

"Berhenti!!!"

Tapi, terlambat. Sabta sudah membawa tubuh Dayu berbaring di lantai. Menguasai keadaan dan memenangkan perselisihan. Sabta mendapat kepuasan.

Dan bukan hanya bibir Sabta yang berdarah sore itu, Dayu juga. Bukan karena beringasnya ciuman Sabta, tapi sekuat tenaga digigit Dayu agar dia tak berteriak atau mengeluarkan suara saat Sabta mencoba mendapatkan kepuasaan atas dia. Sabta harus tahu, Dayu sama sekali tak menikmati permainannya. Dayu tak suka berhubungan dengannya.

Mengatur nafasnya, Sabta berdiri. Merapikan pakaiannya sambil mengelap bibirnya.

"Jangan!" tolak Dayu saat tangan Sabta mencoba membangunkannya. "Pergi!" serunya.

Sabta menghela nafasnya lagi, lalu berjongkok.

"Kurang ajar kamu!" desis Dayu.

Dia beringsut menjauh, lalu duduk. Tangannya mengusap wajah, merapikan bagian bawah pakaiannya. Kamar mandi adalah tujuannya. Di sana, dia membasuh wajah dengan menahan perih bibir. Nafasnya terasa sangat berat. Dia mejamkan mata, mengusap dada agar deru jantungnya memelan. Agar emosinya tidak meluncur begitu saja. Namun, sulit bagi Dayu untuk menarik nafas panjang. Menggigit bibirnya lagi, dia mencoba menarik nafas panjang.

Setelah selesai mencuci wajahnya, Dayu keluar kamar mandi. Tak menemukan Sabta, Dayu cepat berjalan ke pintu dan keluar. Dia menuruni tangga dengan lambat, menenangkan dirinya sendiri. Kepalanya dipenuhi kutukan untuk Sabta. Tangannya terkepal kuat saat ingat sikap Sabta padanya. Dayu menelan ludah, mengangguk. Nanti, Sabta akan dibalas.

🍃

Paginya, semua berlangsung seperti biasa. Dayu membuatkan sarapan untuk Sabta dengan kopi. Lelaki itu hanya menyesap sedikit kopi. Tak ada yang dibicarakannya lagi sejak sore itu. Dayu sama sekali tak menungguinya sarapan atau menawarkan apa yg diinginkan Sabta untuk dia makan seperti sebelumnya. Dia sengaja kabur ke ruang cuci, menunggui mesin cuci yang bekerja sendiri.

"Nanti ke rumah mama, makan malam di sana," ujar Sabta yang tiba-tiba muncul.

Dayu diam saja.

"Denger nggak kamu?"

"Iya," katanya pendek.

"Aku pergi," pamitnya. Pertama kali di hampir tiga bulan pernikahan mereka. "Aku pergi dulu." ulangnya saat Dayu tak menjawab lagi.

"Tidak perlu pamit!" bentaknya tanpa peringatan. "Pergi saja."

🍃🍃🍃🍃🍃

Jangan kembali lagi kalau perlu

🍃

DAYA (PUBLISHED ON KK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang