CALL

74.6K 7.2K 132
                                    

Dayu menemukan hal aneh saat dia akan membuang masakan pagi ini. Tak ada makanan apa-apa lagi di sana. Seingatnya, dia hanya membuang susu tadi malam tanpa sempat membereskan masakannya. Iya, dia tahu sungguh mubazir menyisakan masakan setiap hari untuk Sabta, tapi entahlah, dia hanya mengikuti instingnya saja. Jadi, dia selalu menyisakan satu porsi makanan setiap hari, kalau saja Sabta ingin makan.

"Kamu makan tadi malam?" tanya Dayu saat Sabta berjalan ke ruang makan.

"Kenapa? Nggak boleh?" balas Sabta sambil membuka pintu kulkas dan mengambil beberapa butir buah anggur untuk dimakannya.

"Aku cuma tanya. Kalau bukan kamu yang makan, mungkin ada pencuri yang masuk dan lapar."

Sabta berbalik dan melihat Dayu. "Kamu nuduh aku nyuri?"

Dayu mendesah. "Kenapa kamu tidak jawab saja pertanyaanku? Dari tadi ditanya malah nanya lagi. Kalau kamu yang makan ya bagus, kalo bukan kamu ya berarti memang ada yang masuk rumah ini dan makan!" jelasnya.

Sabta berkacak pinggang. "Aku yang makan. Puas kamu? Pagi-pagi udah ribut aja! Bikin emosi! Tenang aja, nggak akan kumakan lagi!"

"Aku dari tadi tanya kamu baik-baik!" balas Dayu. "Kamu saja yang mutar-mutar jawabnya!"

Sabta mengambil nafas panjang. "Ya kamu pikir aja sendiri. Nggak mungkin ada yang masuk terus makan di sini. Otak kamu tuh dimana sih?" Sabta meneguk air putih di gelas sampai habis. "Baru masak gitu aja udah belagu kamu, ah!"

"Aku benar-benar bingung sama kamu. Ditanya baik-baik, kamu marah." Dayu mengusap kepalanya dan memunggungi Sabta untuk mencuci beberapa sayuran yang akan dimasaknya.

"Ya kamu keterlaluan nggak pake otaknya!" desis Sabta. Dengan gelas yang baru saja dihempasnya ke meja, dia berlalu.

Dayu menggeleng tak paham. Makin tak mengerti dengan sifat suaminya itu. Dia bisa saja menjawab tanpa menimbulkan keributan, kan? Tapi, dia memilih mengalihkan topik dan ujungnya kesal sendiri.

Sepulang kerja hari ini, Dayu memenuhi undangan Bu Alana untuk datang ke apartemennya. Saat dia tiba di sana, sudah ada ibu-ibu dari unit lain berkumpul di dapur Bu Alana yang lumayan besar.

"Ini Bu Lusia dan Bu Vani. Ini Dayu, Mbak. Dia baru di sini, baru berapa Yu, tujuh bulan ya?"

"Itu mah nggak baru," sela Bu Vani. "Sini, kita mau bikin kue. Kamu suka nggak bikin kue?"

Dayu tersenyum tipis sambil berjalan mendekat. "Kadang, tapi saya tidak pintar bikin kue."

"Oh tenang aja. Kamu lihat aja nanti caranya, ya. Ini enak banget loh."

"Ayo, Mbak, kita mulai aja yuk." Bu Alana berjalan ke dapur terlebih dulu.

"Kamu sudah lengkapi bahannya, kan? Ayo,"

Dayu mendekati ketiga ibu itu dan memerhatikan apa yang mereka lakukan. Bu Vani mengambil alih karena sepertinya dia yang ahli. Dayu beberapa kali mengambil dan menyerahkan bahan kue yang mereka minta.

"Begitu aja?" tanya Bu Lusia tak percaya. "Gampang, kan?"

Dayu mengangguk. Rupanya cara membuat kue ini tak seribet nama aslinya. Tres leches dari Meksiko. Menurut Bu Vani, di sini disebut milk bath cake, karena kue ini nanti akan direndam dalam campuran tiga jenis susu.

"Sudah bisa dituang dan dipanggang." Bu Vani menuang adonan dalam loyang, sementara Bu Alana menyiapkan oven.

Bu Lusia sedang mengaduk bahan untuk topping saat Dayu merasa kepalanya pusing. Dia berpegangan erat pada ujung meja dan mencoba tetap fokus pada apa yang dikerjakan ibu-ibu ini.

"Yu, ambil air es tolong,"

Dayu mengangguk dan berjalan ke arah kulkas. Memejamkan matanya, Dayu mengambil nafas panjang dan mengambil sebotol air dingin dari sana. Namun, botol itu terlepas sebelum diserahkannya pada Bu Lusia. Pandangan matanya berkunang-kunang dan dia kesulitan untuk bernafas.

"Dayu!"

Dayu bisa mendengar ujaran kepanikan yang bergaung di telinganya. Juga beberapa peralatan masak yang sepertinya jatuh ke lantai. Dayu menarik nafas, menepuk dadanya mencoba mendapatkan ritme nafasnya kembali. Tapi, rasa sakit justru didapatnya. Udara tiba-tiba berkurang dan dia kesulitan untuk mendapatkannya.

"Dayu! Bangun!" pipinya ditepuk berkali-kali agar dia tetap sadar.

"Mbak, gimana ini? Telepon klinik di bawah aja, Mbak. Pasti ada perawatnya,"

Bu Alana bergerak cepat menghubungi klinik apartemen dan memberitahu keadaan darurat di rumahnya. Mereka harus menunggu sepuluh menit hingga petugas datang dan memberi pertolongan pada Dayu. Dipindahkan ke ruang tamu, dia dipasangi alat bantu nafas. Petugas memprovokasi agar Dayu bisa menarik nafas panjang dan melupakan nyeri dadanya untuk sementara. Bu Alana memegang tangan Dayu, menguatkannya.

"Dayu!" panggilnya. "Dayu, please, Dayu." ujarnya panik

"Tarik nafas, Ibu, yang dalam," perintah petugas berbaju oranye itu. "Sekali lagi."

Dayu memejamkan mata, menarik nafas sedalam yang dia bisa. Belum pulih, hanya saja dia merasa nyeri dadanya sudah mulai berkurang. Petugas itu mengangguk melihat perkembangan Dayu. "Bagus, Ibu. Terus."

Ketiga ibu rumah tangga itu masih berada di dekat Dayu, mencemaskannya. Karena tidak ada tanda-tanda Dayu akan tumbang seperti tadi. Dia baik-baik saja.

"Tidak apa-apa, Ibu-ibu. Untung penanganannya cepat." petugas itu membereskan peralatannya saat Dayu sudah mendapatkan nafasnya secara utuh lagi.

Peluh membasahi dahi Dayu dan kepalanya masih pening. Dia mengambil obat yang diberikan petugas itu sebelum diantar pulang. Bu Alana bersikeras menunggui Dayu sampai Sabta pulang. Meski Dayu sudah menyakinkan kalau dia baik-baik saja.

"Ibu sudah telepon suamimu, Yu."

Dayu menggeleng. "Ibu dapat nomornya dari mana?"

"Ada di bagian informasi apartemen, kan? Ibu minta disana."

Tidak sebentar. Sabta tiba di rumahnya setengah jam kemudian.

"Dayu tadi sesak nafas, Mas." Bu Alana menjelaskan. "Tadi lagi ngumpul di rumah, mau bikin kue. Tapi, Dayu tiba-tiba drop."

Sabta mengangguk. "Makasih, Bu."

Bu Alana berpamitan kemudian. Sabta mendesah. "Ngapain kamu di sana?"

"Bikin kue." jawabnya. "Kan tadi Bu Alana sudah jelasin." tambahnya dengan suara pelan.

"Kamu pulang dari butik langsung kesana, nggak istirahat?"

Dayu mengangguk.

Sabta bertepuk tangan. Melepas jasnya dia berjalan ke dapur. Dia meneguk air dingin yang baru saja dituangnya ke dalam gelas. Lalu, dia berjalan ke ruang tv, berdiri di belakang sofa yang diduduki Dayu.

"Aku nggak tahu kamu ini kenapa nggak bisa dibilangin. Nggak tahu kenapa ada orang yang keras kepala macam kamu, atau bodohnya keterlaluan. Kamu itu sakit, Dayu! Sakit!" oceh Sabta. "Dan nggak ada pentingnya kamu bikin kue sama mereka. Istirahat aja udah di rumah."

Dayu melihat Sabta dengan mata menyalang.

"Apa?" tantang Sabta. "Atau kamu mau aku tolong biar lebih cepat mati?"

🍃🍃🍃🍃🍃

bagaimana?

🍃

DAYA (PUBLISHED ON KK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang