EGO

79.6K 7.8K 429
                                    

Jam menunjukkan pukul empat saat Sabta dan Noah keluar dari kedai kopi tak jauh dari kantor mereka. Menuju bagian samping gedung kantor, mereka berdiri di sana. Sabta menerima rokok yang diangsurkan Noah, kemudian membakar ujungnya.

"Niel punya rencana gila untuk kelulusannya,"

"Dia sudah sidang? Aku nggak tahu,"

"Belum, masih ada buku yang harus dia selesaikan sebelum sidang. Jadi, rencananya dia akan menyewa kapal pesiar dan berlayar beberapa hari."

"He's sick!" tembak Sabta sambil tertawa.

"I think it's going to be cool, so we are in the same boat," terang Noah mendukung rencana saudara kembarnya itu.

Sabta mengangguk. "Yeah," katanya. "Ini masih rencana atau memang sudah dibicarakan?"

"Dia sudah menyewa kapalnya secara teknis," Noah tertawa.

"Anak itu!" ujar Sabta. "Dia bisa begitu bebas untuk pilihannya."

"Kita semua seperti itu," sela Noah.

Sabta membuang pandangan pada sembarang tempat dengan rokok tersulut di bibirnya.

"Masih nggak bisa ketemu Rachel?"

"Hm?" gumam Sabta seraya melihat Noah.

"Rachel, masih nggak bisa ditemuin?"

"Lebih seperti dia nggak mau ketemu." Sabta mendesah. "Hidupku kacau banget deh sejak perempuan sialan itu datang! Argh!"

"Salahnya apa sama kamu?" tanya Noah.

Sabta membuang nafas berat. "Kamu hanya nggak diposisiku, Noah. What the fuck did I do to my life?" gerutu Sabta.

"Kamu yang mengambil keputusan dalam hidup kamu!"

"Dia tuh keras kepala banget, nggak mau ngalah, nggak bisa diatur, ngelawan terus, belum lagi-"

"Siapa? Rachel?"

Sabta memandang Noah, "Jeez! Dayu! Tentu aja dia, dengan keras kepala dan sifat sok tahunya itu!"

"Kamu sudah tahu sifanya sekarang. Sudah ada rasa sama dia?" ada nada menggoda dalam suara Noah, berhasil menyulut emosi yang tenang kini beriak.

"Demi hidupku, dia nggak akan tahan denganku. Aku akan buat dia menyesal sudah pernah masuk dalam hidupku! Aku bersumpah, dia sendiri yang akan menyerah. Pernikahan kami nggak akan berlangsung lama, aku jamin!"

Noah bersiul santai, memasukkan tangan ke dalam kantong celana. "Sab, jam segini, malaikat banyak yang lewat, hati-hati doamu dicatat dan kamu nyesal."

"Like I care!"

Sabta meletakkan kunci di atas buffet dekat pintu, mengamati rumahnya yang terlalu sepi dari biasanya. Jam segini, saat dia pulang pada jam biasa, Dayu akan ada di depan tv, menonton, membaca majalah lama yang disimpannya atau berbaring di sofa, tertidur. Namun, petang ini, tak ada Dayu dimana-mana. Sabta menelan ludah, egonya tak mengijinkan dia memanggil nama Dayu, bahkan untuk memastikan apakah Dayu ada di rumah atau tidak.

Dia membuka simpul dasi, berjalan ke kamar. Hanya ada suara pelan yang tidak terlalu jelas ditangkap Sabta. Dia melangkah ke lemari dan membuang nafas entah karena apa saat melihat pakaian Dayu masih tergantung pada tempatnya, hanya beberapa lembar saja. Sabta berbalik, menaruh tas, membuka jas dan dasinya. Kemudian dia melangkah ke kamar mandi.

Jika ada yang menganggu Sabta tentang Dayu adalah perempuan itu sangat mandiri, keras kepala, tidak bisa diberi tahu, dan tak perlu bantuan darinya. Kadang, itu menyakiti harga diri Sabta. Dayu enteng saja menolak bantuannya. Melakukan pekerjaan berat seolah Sabta tak ada. Menganggapnya tak ada. Dayu selalu keras kepala melakukan semua pekerjaan sendiri. Dia memindahkan galon sendirian, mengganti gorden jendela-bahkan repot-repot membawa tangga. Lalu, sekarang dia bahkan mengganti bola lampu kamar mandi.

"Kamu nggak ada kerjaan?" Sabta mendongak.

Dayu sempat merasa kaget dengan suara yang tiba-tiba hadir di dekatnya, untung saja dia menguasai dirinya dan membuang nafas. "Kelihatan lagi apa?" dia bertanya balik, melihat Sabta sesaat.

"Kebiasaan banget ditanya malah balik nanya. Nih kursi kenapa diinjek gini? Bisa turun busanya!" gerutu Sabta.

"Kamu mau gelap-gelapan di sini?" Dayu memutar bohlam pelan-pelan.

Sabta menghela nafas, "Sini, biar aku aja!" dia menendang kaki kursi pelan.

"Kenapa sih?" seru Dayu. "Kalau nggak bisa bantu, jangan ganggu!"

"Eh," sela Sabta. "Aku mau bantuin. Kamu turun, aku yang ganti!"

"Buat apa?" tanya Dayu sambil menurunkan tangannya. "Sudah selesai." dia melompat turun dan berjalan ke arah soket. Ditekannya sekali, dan ruangan itu dipenuhi cahaya putih benderang.

"Uang yang aku ke kasih ke kamu ada sisanya nggak sih?" tanya Sabta tiba-tiba.

Dahi Dayu mengerut. "Ada, kenapa? Dibalikin ke kamu?" dia melangkah. "Tunggu,"

"Bukan!" seru Sabta. "Bukan itu maksudnya!"

Dayu mengangkat alis, "Lalu?"

"Kamu bisa beli keperluan kamu dengan uang itu. Beli baju baru, nggak bosan pake baju ini-ini aja? Aku aja bosan ngelihat kamu pake baju ini terus!"

"Aku biasa aja. Tunggu, aku balikin uangnya,"

"Nggak usah!" bentak Sabta. "Simpen aja, kalau kamu mau beli sesuatu, pake aja!"

"Aku tidak mau beli apa-apa," Dayu bersikeras dan melangkah keluar kamar mandi.

Sabta melengos, mengikuti Dayu. Perempuan itu membuka lemari, mengambil dompet. Dia mengeluarkan semua uang di dalamnya dan menaruhnya di atas ranjang. "Sisa uang selama tiga bulan, aku tidak hitung ada berapa. Tapi, aku tidak pernah pake untuk apa-apa selain keperluan rumah kamu ini. Juga makan."

"Simpen aja kubilang!" ulang Sabta.

"Tidak usah, tidak ada juga gunanya kupegang. Kamu aja yang simpan,"

"Keras kepala banget sih!" Sabta mengerang. "Kalo kamu nggak simpen uang ini lagi, aku buang!" ancamnya.

Dayu melihatnya, "Buang aja, uang kamu kok!" perempuan itu memasukkan dompet ke dalam lemari lagi.

"Damn it! Kenapa kamu nggak mau dengerin aku?"

"Kenapa? Kamu mau aku menuruti perintah kamu? Ini bukan rumah tangga ideal dan impian, artinya kamu juga bukan suami ideal yang harus aku turutin omongannya!"

"Dayu!" bentaknya. "Simpen uang ini. Kamu dengar aku. Aku nggak mau dibantah."

Dayu mengangkat alisnya. "Kamu saja yang simpan."

Dayu mendengar bunyi berdebam, saat dia melangkah ke pintu. Mungkin Sabta meninju lemari. Terserah dia.

🍃🍃🍃🍃🍃

Tangannya juga yang sakit.

🍃

DAYA (PUBLISHED ON KK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang