SKILL

72.6K 7.1K 111
                                    

Dayu menekan angka pada panel dan pintu tak terkunci. Sebelum membukanya, dia menarik nafas dan merapikan rambutnya. Lampu ruangan yang sudah dinyalakan menandakan ada orang di rumah. Dayu menatap jam di atas tv, tak biasanya Sabta sudah pulang jam segini. Baru jam tujuh lewat sedikit. Dia berjalan ke dapur dan meneguk air putih.

"Kerja apa sampe jam segini?" tanya Sabta yang muncul dari kamar.

"Banyak," jawab Dayu.

"Kenapa kamu baru pulang?" tanyanya lagi.

Dayu melihat Sabta. Kenapa dia banyak tanya seperti ini? "Ada urusan,"

"Apa?" Sabta kemudian duduk di depan tv, sibuk dengan pekerjaannya.

"Sama teman-teman."

Dayu cepat berjalan ke kamar, mengeluarkan kertas dengan nomor ponsel Halim. Dibukanya laci di dekat tempat tidur dan dipandanginya ponsel pemberian Sabta. Dikeluarkannya benda itu dari kotak. Membaca buku petunjuk, dia berhasil membuat benda itu menyala. Namun, dia butuh kartu sim. Dia teringat kartu yang dia miliki dulu. Segera dia mengeluarkan ponsel yang sudah rusak, membuka penutup bagian belakangnya dan bersusah payah melepaskan kartu kecil itu.

Meski tidak yakin, Dayu nyatanya berhasil memindahkan kartu ke ponsel baru dan dia bisa menggunakan benda itu sekarang. Dia mengeceknya. Ada nomor beberapa orang saja di sana. Lalu, dia menambahkan nomor Halim. Tersenyum puas, Dayu kembali menyimpan ponsel itu. Dia hanya akan menggunakannya saat butuh saja. Sebelum dia memasukkan ponsel itu ke dalam laci, dia mengambil buku pemeriksaan kehamilan dan membukanya.

Ada perasaan hangat yang langsung menjalar saat dia melihat foto hasil USG yang dilakukannya. Besok adalah hari kunjungannya lagi ke dokter. Dan tentu saja, akan ada lagi foto yang berbeda dari foto yang sudah dia miliki sekarang. Sebentar lagi, anak ini akan memiliki nyawa dan bukan hak Dayu untuk mengambilnya. Apa yang harus dia lakukan?

🍃

Rentetan bunyi pemberitahuan masuk ke ponsel Sabta begitu mengusiknya. Dia harus memeriksa laporan akhir tahun yang sudah direvisi untuk dipleno di rapat bulan depan, dan bukan waktunya untuk mengecek pesan sekarang. Tapi, bunyi itu membuatnya jengah.

Dengan mata masih fokus pada laptop, dia mengambil ponsel. Ada beberapa foto yang dikirimkan oleh Noah-tentu saja. Sabta membukanya dan dia tercengang seketika. Dia menggeser jarinya dan foto-foto itu masih menampakkan objek yang sama. Dayu. Mengenakan gaun putih ditambah riasan yang membuatnya begitu- berbeda.

Kemudian, panggilan video masuk ke ponsel Sabta.

"Bisakah kamu percaya kalau itu istrimu?" tanya Noah dengan wajah tak percaya.

"Kamu dapat darimana?" tanya Sabta terpancing.

Noah menggeleng. "What a wasted, Sabta! She is deadly beautiful!"

"Don't use that word!" katanya. "Darimana foto ini?"

"AksataInc, ini artinya mama kamu setuju dia jadi model. Can you believe that?"

Sabta mengerutkan dahi. Tak ada yang memberi tahunya soal ini. "Well-"

"Dia sangat cantik."

Tak ingin mendengar lebih banyak pujian dari Noah, Sabta lantas mengakhiri panggilan itu. Dia kembali mengecek foto itu, satu persatu dengan teliti. Menyandarkan punggung pada kursinya, dia tersenyum tipis. Kenapa dia bisa kena kanker? Sabta cepat membuka browser dan mengetikkan kata kunci yang tak pernah terpikir sepanjang hidupnya. Apa yang harus dilakukan jika pasangan mengidap kanker?

Dibeberapa bagian yang dibacanya, Sabta menggeleng tegas. Tanda saran itu tidak akan dilakukannya. Beberapa bagian disetujuinya karena masuk akal. Ah, ini berat. Sabta mendongak saat pintu ruangannya diketuk. Elma masuk dan tersenyum pada Sabta.

"Mr. Pascal besok akan kemari untuk bertemu kalian. Dia hanya punya waktu satu jam, karena akan langsung terbang lagi. Jadi, bersiaplah untuk presentasi super singkat."

Sabta melongo. "Satu jam mana mungkin, El." katanya.

"Bos yang bilang. Kasih aja materi 15 menit, empat orang. Pas, kan? Kamu, Pak Tamil, Brandon, dan Pak Rikas."

"Bran juga?" tanya Sabta seraya membuka lacinya. Dia mengambil map dari dalam sana.

"Kamu lupa siapa Brandon sekarang? Jam 7, Sab. Pesawat beliau jam 9 take off."

"Ah, kenapa nggak dipending aja sih?"

"Kenapa?" tanya Elma. Asisten Sabta itu merasa ada yang aneh dari Sabta. Dia yang menunggu presentasi ini sejak empat bulan lalu. "Sabta, ini kesempatan kamu!"

Sabta menggeleng. "I am just having so much in my mind. Don't think I can do it perfectly."

"Sab, just do it right!" pesan Elma.

Sabta menyerahkan map pada Elma. "Bikin projectnya. Kirim ke email." katanya. "Briefly."

"Jam 7, jangan terlambat. Kukirim ke emailmu sore ini."

Tak ada salahnya memberi Dayu hadiah lagi. Sabta sudah tahu, mereka akan beradu argumen beberapa menit tentang dia tak butuh apa yang dilihatnya nanti. Sabta hanya ingin membelikan ini saja karena sepertinya memang membantu.

Pintu terbuka dan tak ada siapa-siapa di bagian depan apartemen itu. Sabta meletakkan kunci dan menaruh tas di sofa ruang tv. Tak ada juga suara Dayu. Berjalan ke kamar, Sabta mengerutkan dahi lantaran Dayu tak juga ada di sana. Kamar mandi adalah tempat terakhir yang dipikirkan Sabta. Pintunya sedikit terbuka dan Sabta mendorongnya pelan. Pria itu melangkah mundur teratur saat mendapati Dayu tengah berkaca, memerhatikan perutnya dalam keadaan tak biasa. Dia hanya memakai bra sebagai atasan. Untungnya, dia mengenakan celana panjang.

"Shit!" desis Sabta sambil berjalan keluar kamar. Dia menahan geraman bibirnya saat mengingat Dayu. "Fuck!" Sabta menjatuhkan bungkusan yang dibawanya, lantas menuju dapur.

Tanpa menggunakan gelas, dia melesakkan ujung botol langsung ke dalam mulutnya. Kepalanya seketika pusing lantaran suhu air yang terlalu dingin. Mengembuskan nafasnya kasar, Sabta membuang pandangan ke arah jendela.

"Sialan!" Sabta memejamkan matanya. Benar rupanya apa yang dia baca. Hormon memang kacau balau.

"Apa ini?" suara Dayu membuatnya menoleh.

Sabta menelan ludah. Wanita itu sudah memakai piyama lengkap. "Untuk kamu." ujarnya sambil mengalihkan pandangannya.

Dayu mengambil dan membawanya ke ruang tv. Tak sabar dia membuka bungkusan itu. Isinya adalah buku yang tak diketahuinya, juga beberapa kotak pewarna, cat akrilik, kuas, serta spidol warna warni. "Kamu mau aku mewarnai buku ini?"

"Memangnya buat warnain mukaku? Kamu pikir aja sendiri!" dia melihat Dayu. "Fucking stupid." gumamnya pelan.

Dayu membuka plastik buku bersampul putih itu dan menemukan contoh pewarnaan pada halaman pertama, kemudian gambar yang belum diwarnai di belakangnya. "Ini kerjaan anak kecil. Di kampungku, ini kerjaan anak SD!"

"Terserah kamu! Buang aja kalau nggak perlu."

Sabta berlalu dengan umpatan dan gumaman yang ingin dia teriakan di depan Dayu.

"Nanti aku warnain muka kamu aja ya," seru Dayu.

"Do what the fuck you want!"

🍃🍃🍃🍃🍃

dia kenapa, sih?

🍃




Masih sebel juga sama Sabta? Lol

READ. VOTE. COMMENT. RESPECT.

thanks

DAYA (PUBLISHED ON KK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang