❣Tahun 2001, di salah satu desa terpencil di daerah Kab. Grobogan, Ibu Kota Purwodadi, Jawa Tengah.
Udara sepertiga malam begitu dingin. Langit pun masih gelap. Banyak orang masih bergelut dengan selimut juga merengkuh kehangatan bersama mimpi. Hewan malam pun enggan menampakkan diri. Namun, di salah satu rumah kecil berdinding papan juga berlantai tanah, seorang ibu terdengar begitu gaduh membangunkan putra semata wayangnya.
“Emakkk!” jerit seorang anak bernama Satria.
Seorang wanita usia sekitar 30 tahun itu menjewer juga mencubit bokongnya dengan kasar.
“Bangun, anak malas. Ayo bangun!” Wanita yang dipanggil emak itu juga berteriak marah. “Lihat itu kasurmu. Sudah besar tapi masih saja ngompol, ndak tau malu. Cepat bangun!”
Satria akhirnya turun dari ranjang dengan wajah bersengut marah. Kesal karena pagi buta sudah dibangunkan hanya karena kasur basah. Bukan kebiasaan, hanya saja cuaca yang begitu dingin tanpa sadar membuatnya mengompol.
“Cepat sana mandi!” perintah emak masih dengan nada tinggi.
“Dingin, Mak ….” Satria merengek, tangannya sibuk mengucek matanya.
“Ndak akan dingin kalau sudah mandi. Mandi pagi itu bagus buat otak jadi encer, biar ndak bandel!” Wanita yang sering mengenakan bawahan kain batik itu mulai membereskan kasur juga selimut yang basah.
“Emak … kamar mandinya gelap!” Satria beralasan lagi, wajahnya masih terlihat kesal, seolah tak rela harus bangun sepagi ini.
“Ck, ya Allah Satria! Kamu ini sudah besar lho, Le. Sudah kelas enam, masih takut gelap, masih ngompol juga. Apa ndak malu sama teman-temanmu?”
“Emakkk …!” Satria nakal, berteriak khas anak yang manja.
Emak menghela napas panjang kemudian menarik tangan anaknya ke kamar mandi. “Sudah sebesar ini, mandi masih minta ditemani sama emak. Dasar anak nakal!” gerutu wanita yang sering menggelung rambut panjangnya itu.
Kamar mandi terletak di belakang rumah yang terhubung dengan dapur. Tidak ada penerangan sama sekali. Tentu saja gelap gulita karena saat itu masih sekitar pukul empat dini hari.
Pada masa itu air masih menggunakan pompa. Emak memompa air, sedangkan Satria tinggal mandi. Air yang keluar langsung dari pompa biasanya tidak terlalu dingin, itu sebabnya Satria lebih suka mandi langsung dengan air yang baru saja keluar.
Senter kecil yang diletakkan di samping pintu kamar mandi, sudah cukup untuk menerangi agar tidak terlalu gelap.
Tak butuh waktu lama, Satria selesai mandi. Dia menggigil kedinginan dan langsung masuk dengan mengenakan handuk besar untuk menutupi seluruh tubuhnya. Sedangkan emak, masih memompa air untuk mencuci piring dan persediaan lain nanti.
Meski fajar belum menyapa, tetapi kesibukan sudah menjadi hal biasa. Emak yang kemudian sibuk memasak, sedangkan Satria duduk di depan tungku. Selain untuk menghangatkan tubuh, juga membantu menjaga api agar tidak mati, karena memasak masih menggunakan kayu bakar. Belum punya kompor waktu itu.
Satria sendiri sudah tidak punya bapak sejak usianya masih sekitar lima tahun. Jadi selama bertahun-tahun, anak itu hanya hidup berdua dengan emaknya. Hidup sederhana di rumah kecil yang hanya memiliki satu kamar tidur, ruang tamu yang hanya ada meja kecil dan dua kursi, serta kamar mandi terhubung langsung dengan dapur.
Itu sebabnya, saat ada hujan disertai angin yang sangat kencang, emak selalu ketakutan. Takut roboh katanya. Rumah kecil dan sudah tua, peninggalan orang tua. Entah sudah berapa puluh tahun tidak pernah ada perbaikan. Semua karena kendala ekonomi. Sudah bisa makan dan menyekolahkan Satria saja sudah syukur alhamdulillah bagi emak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menggapai Cahaya di Langit Doa (Selesai)
SpiritualKisah seorang anak lelaki yang tumbuh dewasa dengan lika-liku kehidupan yang sangat tajam. Satu-satunya wanita yang dicintainya harus pergi meninggalkan untuk selamanya. Wanita yang dia panggil Emak. Namun kehidupannya berubah saat diangkat anak ol...