Part. 13

4.1K 407 22
                                    

Menggapai Cahaya di Langit Doa

Djournal Coffee, gerai yang ada di ground floor, Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Menjadi tempat pertemuan Satria dengan Reinata siang ini.

Satria memilih tempat di pojokan yang tidak terlalu ramai. Duduk berhadapan terpisahkan oleh meja kecil persegi. Aroma berbagai coffee menguar di ruangan bernuansa klasik tersebut. Ditambah dengan menu yang dipesan. Sandwich, nachos, caramel moccacino, dan piccolo. Semua telah tertata rapi di meja.

“Silakan diminum dulu,” Satria membuka suara setelah pelayan pergi.

“Thanks. Langsung saja apa yang ingin kamu katakan. Aku gak punya banyak waktu. Jam dua aku ada pertemuan dengan client penting.”

Gadis yang menguncir kuda rambut keritingnya itu, duduk bersandar dengan tangan memutar-mutar gelas berisi piccolo, racikan kopi dan susu.

Satria tersenyum, meletakkan kedua tangan di meja, menatap serius lawan bicaranya. “Bagaimana tanggapanmu dengan perjodohan kita?”

Netra biru itu menatap lurus dengan wajah tanpa ekspresi. “Menurutmu?”

“Begini, ada yang harus kamu ketahui tentangku sebelum menyetujui perjodohan ini.” Satria menarik tubuh, duduk bersandar. “Aku bukanlah anak kandung keluarga Pramana.”

Gadis itu mengernyit, mata menyipit juga kedua alis tipis cokelatnya menyatu.

“Aku hanyalah anak angkat. Anak yatim piatu berasal dari desa terpencil. Alhamdulillah dipertemukan dengan keluarga baru, hingga aku bisa jadi seperti sekarang ini,” lanjut Satria.

“I don’t care,” sahut Reinata acuh tak acuh.

Satria menghela napas panjang. Menyesap pelan moccacino caramel yang dipesannya.

“Apa kamu akan menerima?” tanya Satria setelah meletakkan kembali minumannya.

“Menolak pun percuma.”

“Tapi kita sama sekali gak kenal?”

“Lalu?”

“Apa kamu mau menikah dengan lelaki yang sama sekali gak ada rasa cinta sedikit pun sama kamu?”

“Bulshiit dengan kata cinta!”

Satria kembali menghela napas panjang. Sedangkan Reinata mendengus kasar dengan senyuman miring.

“Sepertinya kamu sama sekali gak tau bagaimana orang-orang kaya mempertahankan kekayaannya.”

Satria mengernyit. “Maksud kamu?”

“Anak orang kaya itu tidak punya pilihan. Bagaimana masa depannya, sudah ditentukan oleh orang tua dari kecil. Termasuk soal pernikahan.” Reinata melakukan penekanan di akhir kalimat dengan wajah serius.

“Apa semua orang kaya begitu?”

Reinata kembali mendengus dan tersenyum kecut. “Seharusnya dulu kamu pikirkan sebelum mau diangkat jadi anak oleh orang kaya. Kalau sekarang, sudah terlanjur. Kamu juga sudah menerima semua fasilitas yang diberikan keluargamu, termasuk pendidikan ke luar negeri. Apa sekarang kamu akan menolak ketentuan dari keluargamu?”

Satria bungkam. Menatap dengan ekspresi datar. Lalu menyandarkan tubuhnya dengan raut wajah frustrasi.

Reinata tersenyum dan menggeleng pelan. Menyesap piccolonya dan kembali berkata, “Sudahlah. Percuma saja menolak. Terima saja takdir yang sudah ditentukan keluargamu.”

Satria menggeleng lemah. “Aku gak bisa.”

“Why?”

“Aku sudah punya pilihan sendiri.”

Menggapai Cahaya di Langit Doa (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang