❣
Matahari masih menampakkan sinarnya sore itu, meski beberapa kali gumpalan awan hitam menutupi. Sedangkan di jalan raya, banyak kendaraan berlalu lalang karena bertepatan dengan jam pulang kerja. Beberapa kali bus berhenti di pinggir jalan, menurunkan penumpang.
Satria berjalan pelan dengan digandeng Nadia yang juga menggendong Hasna. Tatapannya mengitari jalanan sambil mengingat jalan pulang. Namun, langkahnya terhenti saat sebuah suara memanggilnya berkali-kali.
“Satria …!”
Satria menoleh mencari asal suara. Begitu juga Nadia. Matanya membulat saat melihat sosok wanita yang dikenalnya beberapa hari lalu, turun dari taxi dan segera lari menghampiri.
“Ya Allah Satria!” pekik Santi lalu memeluk erat. “Alhamdulillah akhirnya kamu ketemu juga, Nak.”
Satria hanya bergeming. Diam dan sama sekali tidak membalas pelukan dari wanita bergamis jingga itu. Sedangkan Nadia tersenyum mengamati.
“Kamu ke mana saja, Nak? Kenapa pergi? Kenapa gak bilang sama Mama? Ada apa?” cecar wanita dengan wajah cantik jelita saat meregangkan pelukan dan menatap penuh kekhawatiran.
“Maaf,” lirih Satria. Hanya satu kata itu yang keluar dari mulutnya lalu menunduk.
“Jangan ditanya dulu, Bu. Nanti saja kalau sudah sampai di rumah ditanya pelan-pelan,” ujar Nadia pelan.
Santi menatap dan tersenyum perlahan. “Maaf, Ibu ini siapa, ya?”
“Saya Nadia. Tinggal di gang kecil pertigaan jalan sana. Semalam ba’da Subuh saya menemukan Satria menangis di depan rumah. Ini baru saya mau antarkan pulang.”
“Oh alhamdulillah ya Allah. Maaf, ya, Bu. Perkenalkan nama saya Santi, Mamanya Satria.” Santi mengulurkan tangan dan disambut oleh Nadia dengan hangat.
“Mamanya Mas Satria ya, Bunda?” celetuk Hasna yang sedari tadi diam saja.
“Iya, Sayang. Mas Satria sudah ketemu sama Mamanya. Salim ya sama Mamanya Mas Satria.” Nadia meraih tangan kanan Hasna dan mengulurkan kepada Santi.
Santi mengamati dengan seksama, tanpa bertanya ia sudah paham kalau anak gadis ini tidak bisa melihat sama sekali.
“Namanya siapa, Sayang?” Santi memberikan tangannya dan langsung dicium oleh Hasna. “Masya Allah pintar sekali, Nak.” Ia mengelus lembut kepala gadis kecil itu, menatap penuh haru.
“Namaku Hasna Qotrunnada artinya secantik tetesan embun,” jawab Hasna dengan wajah cerianya.
“Masya Allah cantik sekali namanya. Secantik orangnya. Umurnya berapa sekarang, Sayang?” Santi masih terkagum dan tangannya terus mengelus kepala juga pipi gembul Hasna.
“Lima tahun,” jawab Hasna malu-malu. Memeluk erat bundanya dan menyembunyikan wajah di sana.
“Manisnya … Hasna mau main ke rumahnya Mas Satria? Main bareng, biar Mas Satria ada temennya.” Santi menawarkan.
“Mau.” Hasna mengangguk antusias.
“Nanti ya, Sayang. Kalau ada waktu kita main ke rumah Mas Satria. Sekarang ‘kan Bunda harus kerja,” ucap Nadia tersenyum.
“Kapan-kapan main ya ke rumah. Gak jauh kok dari sini. Sekarang saya pamit dulu, ya, Bu. Terima kasih banyak atas bantuannya,” kata Santi kepada Nadia.
“Tidak perlu berterima kasih, Bu. Yang penting sekarang Satria sudah bertemu keluarganya. Alhamdulillah, saya ikut senang,” ujar Nadia lalu beralih kepada Satria. “Dan Satria, jangan pergi tanpa pamit lagi ya, Nak. Harus nurut sama Mama, ya?” Nadia mengelus kepala Satria dan tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menggapai Cahaya di Langit Doa (Selesai)
SpiritualKisah seorang anak lelaki yang tumbuh dewasa dengan lika-liku kehidupan yang sangat tajam. Satu-satunya wanita yang dicintainya harus pergi meninggalkan untuk selamanya. Wanita yang dia panggil Emak. Namun kehidupannya berubah saat diangkat anak ol...