❣Tahun 2018 ….
Seorang lelaki berpostur tubuh tinggi dan tegap turun dari taxi di depan salah satu rumah sederhana di desa Tangkis. Dia kini mengenakan kemeja kotak-kotak biru muda. Bagian lengan dilipat sesiku. Celana cokelat muda menghiasi kakinya yang memakai sepatu hitam mengkilap. Rambut hitam tebalnya disisir rapi menambah kesan kedewasaannya.
Sopir taxi membantunya menurunkan beberapa kardus berisi makanan juga pakaian, serta beberapa kantong plastik berisi buah-buahan.
Mendengar suara mobil berhenti di halaman depan, pemilik rumah segera menghentikan aktivitasnya di dapur dan segera keluar.
“Satria …!” pekik seorang wanita usia senja tersebut saat menyadari siapa yang datang.
“Lek Parni ….” Satria tersenyum, wajahnya sumringah lalu dengan senang hati menerima pelukan dari wanita yang kini sudah semakin menua.
“Ya Allah, Le … tak kirain kamu sudah lupa sama Lekmu ini. Sudah berapa tahun ndak pernah pulang. Apa lupa sama kampungmu sendiri?” Lek Parni merenggangkan pelukan dengan tangan mengusap sudut matanya yang basah.
“Ya Allah, Lek, Satria mana mungkin lupa sama kampung ini, apalagi sama Lek Parni. Satria kan kuliah di luar negeri, Lek, ngambil jurusan spesialis kedokteran. Memang niatnya sampai lulus baru pulang, biar bisa benar-benar fokus. Nah kebetulan pas pulang, orang rumah lagi pada ke luar kota, jadi Satria pulang kampung dulu.”
Senyumnya mengembang, kedua tangannya memegang tangan kasar dan keriput itu. Tangan seorang wanita pekerja keras, sama seperti almarhum emaknya.
“Allahu Akbar ….” Semakin deras Lek Parni menangis. “Lek sama sekali ndak nyangka, kalau kamu sekarang bisa jadi dokter, Le, ya Allah. Sudah sukses, tambah ganteng, Emak sama Bapakmu pasti bangga melihatmu.” Kedua tangan Lek Parni menyentuh wajah Satria. Tersenyum haru dengan derai air mata.
“Alhamdulillah, Lek. Satria yakin, Emak sama Bapak pasti melihat. Semua ini pasti berkat doa mereka juga. Doa Lek Parni juga tentunya.”
“Yowis, sekarang masuk dulu. Ayo …,” ajak Lek Parni lalu membantu membawakan koper kecil milik Satria.
Rumah Lek Parni kini sudah berlantai keramik warna merah. Tatanan isi rumah juga rapi meski tak banyak perabotan yang dimiliki. Yang paling membuat Satria terenyuh adalah sepeda ontel itu masih utuh, hanya dicat dengan warna berbeda agar karat tertutupi.
“Kamu kok bawa oleh-oleh sebanyak ini, tho?” Lek Parni bertanya. Ruang tamu yang sempit itu kini penuh dengan oleh-oleh yang dibawa Satria.
“Buat dibagi-bagi sama tetangga lain, Lek. Nanti sebagian juga mau Satria bawa ke Pak Kyai,” jawab Satria santai.
Lek Parni mengangguk-angguk. “Sebentar ya, Lek bikinin minum.”
“Ndak perlu repot-repot, Lek. Satria tadi sudah mampir ke warung waktu nyampe di bandara Semarang,” sergahnya.
“Halah kamu ini, kayak sama orang lain saja. Sebentar.” Wanita dengan tubuh kurus itu langsung melangkah menuju dapur.
Satria justru keluar rumah, melihat pemandangan kampung yang memang tidak jauh berubah. Hanya saja jika dibandingkan dengan waktu kecil dulu jelas berbeda. Kini jalanan sudah diaspal halus. Kendaraan sudah banyak berlalu-lalang, terlebih sepeda motor. Sudah sangat jarang terlihat delman atau angkutan umum seperti bus dan lainnya.
Langkahnya kini menuju samping rumah. Menatap lekat-lekat bekas rumahnya dulu. Namun, kini sudah menjelma menjadi ladang jagung juga kacang yang ditanam oleh Lek Parni.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menggapai Cahaya di Langit Doa (Selesai)
SpiritualKisah seorang anak lelaki yang tumbuh dewasa dengan lika-liku kehidupan yang sangat tajam. Satu-satunya wanita yang dicintainya harus pergi meninggalkan untuk selamanya. Wanita yang dia panggil Emak. Namun kehidupannya berubah saat diangkat anak ol...