Part 10

5.6K 527 81
                                    


Di ruangan bernuansa putih khusus untuk salat ini, mereka berdua baru saja selesai salat Maghrib berjamaah. Satria membalikkan badan, mencium tangan sang mama dengan penuh rasa sayang.

“Anak mama sudah besar sekarang. Sudah jadi dokter. Mama bangga sekali.” Wanita yang memakai mukena putih itu tersenyum dengan tangan mengelus rambut sang anak.

“Semuanya juga berkat Mama. Kalau bukan karena Mama, mungkin Satria gak akan jadi dokter seperti sekarang.” Lelaki 28 tahun itu tersenyum dengan menatap penuh rasa sayang kepada mamanya.

“Semua sudah ditakdirkan oleh Allah, Nak. Mama juga sangat bersyukur karena memiliki anak sepertimu.” Wanita paruh baya tersebut menatap haru. “Tinggal satu lagi tugas Mama untukmu.”

“Apa, Ma?” Wajah Satria mengernyit. Kedua alis tebalnya menyatu.

“Menikahkanmu,” jawab Santi dengan senyum merekah. “Kamu sudah berumur, Nak. Sudah waktunya untuk berumah tangga. Apalagi yang dicari? Sudah mapan begini, iya ‘kan?” godanya dan sukses membuat Satria tersipu malu.

“Mama ….” Malu Satria berkata, ingin meneruskan tapi bingung harus mulai dari mana.

“Siapa gadis yang beruntung itu, Nak?” tanya Santi lebih dulu, melihat rona merah di wajah sang anak. “Sampai sekarang, kamu belum pernah sekali pun bercerita tentang wanita, apalagi memperkenalkan pada Mama.”

“Cuma dia, Ma, dari dulu hingga sekarang,” jawab Satria pelan. Senyuman masih menghiasi bibir. Pikirannya melayang pada gadis kecil yang selalu menempati posisi terpenting di hatinya.

“Dia? Siapa? Apa Mama mengenalnya?” Santi menatap menelisik.

Satria mengangguk.

“Has-na?” Santi menebak ragu.

Semakin merona wajah Satria saat mamanya menyebut nama gadis kecilnya.

“Benar?” tanya Santi lagi, tak sabar menunggu jawaban.

Satria menarik napas dalam-dalam sebelum berkata dengan menggenggam kedua tangan mamanya. “Kalau Satria melamar Hasna, apa Mama setuju?” tanyanya pelan dan ragu.

Sempat terlihat raut terkejut di wajah yang mulai mengeriput tersebut, tapi kemudian senyuman tersungging di bibir tipis itu. “Mama sangat setuju. Apalagi, Mama tahu Hasna itu gadis manis yang ceria meski dalam kekurangan. Dia gadis yang Insya Allah sholehah dan mampu menjadi istri yang baik. Mama setuju dengan pilihanmu, Nak.”

“Beneran, Ma?”

“Tapi … apa kamu sungguh siap, menerima keadaan Hasna?” Pelan Santi bertanya, takut menyinggung perasaan.

Senyum merekah itu memudar digantikan wajah yang terdiam. “Insya Allah Satria siap, Ma. Satria sama sekali gak melihat sisi kekurangan Hasna. Seperti yang Mama bilang tadi, Insya Allah dia gadis yang sholehah. Kalau untuk penglihatannya … Satria akan nabung untuk operasi matanya nanti. Mama setuju, kan?”

“Masya Allah, Nak. Mama bangga sama kamu,” lirih Santi dengan mata mulai menampakkan kacanya juga tangan mengelus lembut pipi Satria.

“Secepatnya Satria akan melamar Hasna.” Lelaki berhidung mancung itu mengulum senyum, membayangkan bagaimana reaksi gadis kecilnya saat ia melamar nanti.

“Semoga Allah memberi kemudahan untukmu, Nak. Mama akan selalu mendoakanmu.”

“Terima kasih ya, Ma. Karena sudah jadi Mama terhebat yang pernah Satria kenal.” Satria mencium kedua tangan mamanya. Tersenyum bersama.

“Ya sudah kita turun makan dulu. Kamu pasti sudah lapar, kan? Mama sudah masak banyak makanan kesukaanmu.”

“Papa dan yang lain belum pulang?”

Menggapai Cahaya di Langit Doa (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang