Part 17

4K 500 28
                                    

💖

Satria berdiri di depan cermin, memasang dasi juga merapikan kemeja. Netra hitamnya sesekali melirik Hasna yang duduk di pinggir ranjang sambil menyisir rambut panjang yang masih setengah basah.

“Sudah selesai? Kita turun sarapan.” Satria menghampiri dan duduk di samping Hasna. Tangannya menyibak rambut panjang itu dan seketika aroma sampo pun menguar. Membuatnya memejamkan mata sejenak.

“Hasna pake kerudung dulu.”

“Sini, biar Mas bantu.” Satria mengambil alih kerudung di tangan Hasna dan mulai memakaikannya.

Hasna hanya bergeming. Menahan senyum juga berusaha menguasai diri dari rasa gugup sebab detak jantung yang mengencang. Mengingat berbagai hal yang dilakukan Satria semalam, membuatnya tersipu. Malu.

Satria tersenyum lebar dengan tangan menangkup di kedua pipi kemerahan Hasna. “Hasna Qotrunnada, secantik tetesan embun artinya. Mas rasa ... Hasna jauh lebih cantik dari tetesan embun.”

“Mas Satria jangan ngegombal pagi-pagi!” Hasna mengulum senyum dan menepuk paha Satria.

Tawa Satria berderai.

💖

Di meja makan saat sarapan bersama untuk pertama kali di keluarga Pramana, membuat Hasna sedikit gugup dan takut. Apalagi beberapa diantaranya jelas terdengar tak menyukai.

Tanpa sengaja, tangan Hasna menyenggol piring dan akhirnya tumpah, pecah berserakan di lantai. Untuk sesaat hanya keheningan. Sepasang mata saling pandang dan kemudian lurus menatap tajam Hasna.

“Maaf,” lirih Hasna.

“Gak apa-apa. Biar Mas bereskan dulu.” Satria berdiri, menarik kursi dan berjongkok memunguti pecahan piring juga nasi.

“Mas Satria ….” Raut wajah Hasna seketika pucat, antara merasa bersalah juga takut kena marah.

“Hasna duduk saja.” Satria mencoba menenangkan.

“Mbok …!” Rendi memanggil salah satu asisten rumah. Santi berdiri dan menghampiri Satria.

Terdengar hembusan napas kasar dari Ambar. Juga decakan dari Nurmala. Sedangkan Ryan, seolah tak acuh, sibuk dengan sarapannya. Namun, sorot mata tajam itu menatap lurus pada Hasna. Entah apa yang dipikirkannya.

Salah satu asisten rumah akhirnya datang membawa sapu. Membantu Satria membersihkan lantai.

“Tolong yang bersih ya, Mbok. Takut ada pecahan beling, nanti keinjak,” ujar Satria yang langsung dijawab dengan anggukan.

“Sudah tidak nafsu makan rasanya!” Ambar berdiri setelah meletakkan sendok di piring, hingga berdenting cukup keras. Kemudian melenggang pergi tanpa permisi.

Nurmala tersenyum sinis. Rendy menghela napas berat. Sedangkan Santi diam sedikit tertunduk, dan kembali duduk.

“Maaf,” lirih Hasna dengan suara bergetar. Gumpalan di sudut mata siap tumpah, tapi ditahan sekuat tenaga.

“Gak apa-apa, Hasna. Sudah lanjutkan makannya,” jawab Santi.

Satria yang baru kembali dari cuci tangan, kembali duduk dan mengusap punggung Hasna yang tertunduk.

“Makan lagi, ya?” Satria kembali menyendokkan nasi ke piring. “Mas suapin.”

Hasna menggeleng, tangannya sibuk mengusap sudut mata.

“Gak boleh gak sarapan. Nanti sakit. Mas suapin, kita makan satu piring.” Satria mulai menyuapkan nasi ke mulut Hasna.

Hasna membuka mulut dengan sesekali sesenggukan. Satria dengan sabar menyuapi Hasna, juga mengusap pipi yang basah.

Menggapai Cahaya di Langit Doa (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang