Part 12

4.3K 533 29
                                    

Satria pulang dengan senyum mengembang. Malam dengan taburan bintang seolah ikut merasakan hati yang sedang mekar. Bayangan indah saat nanti ia akan mengucap ijab kabul seakan menambah bunga di hatinya.

Mobil telah terparkir di halaman depan. Satria masuk rumah dengan langkah lebar, tak sabar memberi kabar. Hingga tak sadar bahwa mobil milik papanya telah terparkir juga di depan.

Satria mengucap salam dengan suara lantang juga senyum lebar. Memanggil mamanya berulang. Namun, langsung terdiam saat seluruh keluarga duduk di sofa ruang tamu menatapnya dalam-dalam.

“Sejak kapan jadi tidak sopan begitu?” Ambar menatap tajam. Garis wajah keras masih tampak jelas. Tak berubah.

Satria berjalan pelan dan langsung menghampiri eyangnya yang duduk dengan tangan dilipat di dada. Berjongkok di hadapan dan meraih tangan yang sudah seluruhnya mengeriput tersebut. Menciumnya dengan kepala tertunduk.

“Maaf, Eyang.”

“Dari mana saja jam segini baru pulang?”

“Dari rumah Hasna, Eyang.”

“Masih berhubungan dengan gadis itu rupanya?” sengit Ambar berkata.

Satria bergeming. Segala ucapan seolah berhenti di tenggorokan. Niatan yang ingin disampaikan seakan hilang.

“Sudahlah, Bu,” sela Rendi yang duduk bersebelahan dengan Nurmala. “Sudah malam.”

Eyang Ambar menghela napas kasar. “Malam ini, Eyang maafkan. Lain kali, Eyang tidak ingin ada peraturan yang dilanggar. Terutama tentang sopan santun!”

“Sekali lagi, maafkan Satria, Eyang.”

“Tidak ada waktu lagi untuk bicara. Sudah larut malam dan waktunya istirahat.”

Satria berdiri. Begitu juga Ambar dan lainnya.

“Ryan masuk kamar dululah, Eyang. Sudah ngantuk.” Lelaki 23 tahun itu menghampiri Ambar dan mencium pipi kirinya. “Good night, Eyang,” imbuhnya dan segera berlalu.

Satria hanya bergeming menatap adiknya yang selalu bersikap dingin.

“Aku juga sudah ngantuk, capek banget. Ayo, Mas istirahat.” Nurmala menggandeng lengan Rendi. Bermanja seperti biasa.

Santi memalingkan wajah. Meski sudah bertahun lamanya menjalani rumah tangga luar biasa, tapi tetap saja saat suami bersama wanita lain hati seakan teremas. Pedih menyisakan luka.

“Kamu duluan saja. Aku mau bicara sebentar dengan Satria.” Rendi menyingkirkan tangan Nurmala.

Wanita dengan make up tebal itu bersungut, tanpa kata ia pergi begitu saja setelah mengajak ibu mertuanya untuk ke atas bersama.

“Dokter Satria Pramana … selamat datang kembali di rumah, Nak!” seru Rendi deng merangkul Satria.

Satria tertawa kecil. “Makasih banyak, Pa.”

Satria melepas pelukan. Tersenyum kepada mamanya yang menghampiri.

“Papa bangga sama kamu!” Rendi menepuk pelan bahu Satria.

“Siapa dulu Mamanya,” sahut Santi dengan bangganya.

Semua tertawa.

Pagi yang cerah dengan semangat yang tak pernah lelah. Senyum lebar tersungging saat menatap diri di depan cermin. Kemeja putih, celana bahan warna hitam, serta sepatu hitam yang mengkilap. Rambut tebal disisir rapi. Setelah puas dengan penampilannya, Satria segera keluar kamar.

Menggapai Cahaya di Langit Doa (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang