part. 21

4.1K 596 112
                                    

💖

"Allahu Lailahaillallah Hasbi Rabbi Jallallah. Mafi Qolbi Ghairullah. Nur Muhammad Sallallah. Haqqul Lailahaillallah."

Malam yang tenang. Suara gemericik air yang jatuh dari langit terdengar beradu dengan semilir angin. Dingin. Masih duduk di sajadah, Satria mengucapkan lirih dzikir berulang-ulang dengan mata terpejam. Damai yang disarakan.

Sampai tiba ada seseorang yang memeluknya dari belakang. Bergelayut manja dengan wajah menempel di pipinya. Satria tersenyum dan membuka mata.

"Astaghfirullah, Sayang ... Mas kan lagi dzikir, kok diganggu sih? Hm?" Tangan kanan Satria mengelus kepala yang dilapisi kerudung tersebut.

"Mas Satria ...."

"Hm?"

Wanita yang mengenakan gamis besar warna putih cerah itu melepas pelukan, kemudian berpindah duduk di hadapan Satria. Tersenyum lebar dengan mata berbinar.

Satria terbelalak seketika. Mata berkedip tak percaya. Tangan terulur menyentuh wajah wanita di hadapannya. "Hasna?" gumamnya masih tak menyangka.

"Iya Mas Satria ... ini Hasna." Hasna meraih tangan Satria yang menyentuh pipi kemerahannya dan menciumnya lama.

"Sayang ...," kelu Satria berucap. Tangan kiri yang memegang tasbih, menyentuh dagu sang istri kemudian mendongakkan untuk kembali menatapnya.

Hasna tersenyum manis sekali malam ini. Wajahnya berseri dengan mata yang memancarkan kebahagiaan nyata. Netra kecokelatannya menatap Satria penuh cinta.

"Mata kamu ...." Satria mengernyit dan masih tak percaya dengan yang dilihatnya.

"Hasna sudah bisa melihat, Mas. Hasna bisa melihat wajah Mas Satria sekarang. Hasna bisa melihat," ucap Hasna penuh keceriaan. Tatapannya mengikuti gerakan tangan yang mengusap lembut wajah Satria. "Ternyata ... Mas Satria jauh lebih tampan dari yang Hasna bayangkan selama ini."

"Masya Allah ... bagaimana mungkin?" Satria menatap dalam-dalam netra kecoklatan milik Hasna. Coklat terang dan indah sekali. Satria tersenyum lalu merangkul tubuh sang istri.

Hasna memejamkan mata, membalas pelukan suaminya. "Gak ada yang gak mungkin jika Allah sudah berkehendak, Mas."

"Allahu Akbar!" seru Satria berulang-ulang dengan linangan air mata. Kemudian merenggangkan pelukan, menatap wajah Hasna lagi dengan senyum mengembang.

Hasna mengusap lembut pipi Satria yang basah. "Allah telah berbaik hati pada Hasna, Mas. Sekarang Hasna sudah bisa melihat, tanpa perlu operasi. Jadi, Mas Satria gak perlu lagi pusing memikirkan biaya operasi untuk Hasna."

Wajah yang semula tampak bahagia, tiba-tiba mengernyit dengan berbagai macam pikiran dan pertanyaan.

"Tapi ... maafkan Hasna ya, Mas." Hasna memeluk, meletakkan kepala di dada Satria. "Hasna pergi gak pamit dulu sama Mas Satria. Jangan marah sama Hasna ya? Maaf ...."

"Maksudnya apa, Hasna? Mas Satria gak ngerti dengan yang kamu katakan."

Hasna merenggangkan pelukan, kembali menatap dengan senyum merekah. Indah. Kemudian mengecup pipi Satria lembut dan berbisik, "Hasna sayang sama Mas Satria. Hasna akan nunggu Mas Satria di sini. Rumah Allah."

"Hasna ...!"

💖

"Hasna ... Hasna ...!"

Satria membuka mata dengan napas memburu. Keringat dingin mengucur deras di pelipisnya. Tatapan lurus ke atap, mencerna kejadian yang begitu terasa nyata. Tersadar saat tangannya disentuh seseorang dengan suara memanggil namanya berulang.

"Alhamdulillah ya Allah akhirnya kamu sadar juga, Nak." Suara lirih Santi dengan derai air mata, kini membuat Satria bertanya dengan tatapan tak mengerti.

"Mama panggil dokter dulu." Santi segera pergi dari ruangan bernuansa putih bersih tersebut. Meninggalkan Satria yang seolah belum tersadar seutuhnya.

Tak lama Santi kembali dengan dokter pria yang usianya tak jauh berbeda. Memeriksa Satria yang masih terbaring lemah di ranjang. Kemudian bertanya sesuatu kepada Satria. Namun, Satria justru seperti orang linglung. Antara kejadian yang baru dialaminya juga ingatan terakhir kali di rumah.

"Hasna!" ucap Satria akhirnya. Menatap mamanya bertanya. "Hasna mana, Ma? Satria bener-bener bingung. Tadi Satria lihat, Hasna udah bisa melihat sempurna, Ma. Matanya indah sekali. Dan sekarang, di mana dia? Kenapa gak ada di sini menungguku?"

Santi justru membekap mulut dengan isakan yang keras. Pun air mata mengalir deras.

"Ma? Kenapa malah nangis? Tolong bawa Hasna ke sini, Ma. Satria ingin bertemu. Ma ...."

Satria memaksakan diri untuk bangun dengan dibantu oleh dokter. Sempat meringis menahan nyeri di kepala. Ia baru sadar, bahwa kini kepala bagian belakang diperban. Membuatnya mengingat utuh kejadian sebelumnya. Juga tentang Hasna.

"Tolong katakan ada apa, Ma?" Suara Satria bergetar, takut akan pemikiran sendiri.

Santi menatap pilu, masih dengan isak tangis yang justru semakin menjadi. Kemudian berucap lirih sambil memegang kedua tangan Satria. "Hasna sudah sama Allah, Nak."

Deg.

💖

Kejadian 17 tahun lalu pun terulang lagi. Di mana saat Satria masih berusia 11 tahun itu harus merasakan kesakitan yang teramat dalam karena ditinggal orang tersayang.

Dua hari Satria tak sadarkan diri di rumah sakit. Membuatnya kehilangan waktu berharga. Waktu dimana, malaikat merenggut paksa nyawa istri tercinta.

Satria yang duduk di belakang mobil, menyentak-nyentak sang supir. Tidak sabar ingin segera sampai ke rumah. Emosi, amarah, juga air mata luka menjadi satu. Tubuhnya gemetar, dengan bibir terus beristighfar.

Santi tak kuasa menahan tangis melihat anak lelakinya yang terlihat begitu menahan luka. Merangkul lengan dan mengusap punggung Satria menenangkan.

Memori bertahun-tahun silam itu pun seakan hadir kembali. Dimana saat Satria menjerit memanggil emaknya dengan berlari sekencang-kencangnya, agar sampai ke pemakaman sebelum emak dikuburkan.

Kini, Satria harus kembali merasakan kesakitan yang sama. Mengejar waktu agar dapat menemui istri tercinta sebelum dimakamkan.

Satria tiba-tiba menjerit dengan tangan menjambak rambut sendiri. Santi terkejut, berusaha menguatkan meski diri sendiri terlihat menyedihkan.

Beruntung, saat mereka sampai di rumah, jenazah Hasna belum dibawa ke pemakaman. Turun dari mobil dengan dipapah mamanya, Satria menatap dengan tatapan kosong pada banyaknya orang juga mobil jenazah yang ada di halaman depan.

Satria menggeleng pelan, mengenyahkan segala pemikiran. Masih berharap bahwa apa yang dialaminya ini hanya sebuah mimpi buruk saja. Jika iya, Satria ingin segera bangun.

Semua orang yang hadir dan sedang membacakan surat yasin, menoleh menatap Satria dengan perasaan iba. Termasuk seorang wanita usia senja yang duduk di depan jenazah Hasna. Ambar sempat menarik napas panjang melihat kedatangan Satria, seolah berusaha menahan air mata.

Satria berjalan semakin gontai. Tatapannya lurus pada seseorang yang tidur dan dikerumuni banyak orang. Langsung terjatuh lemas saat dilihat jelas bahwa benar orang itu adalah istrinya.

"Hasna ... ini Mas Satria sudah pulang." Satria menyentuh tangan Hasna, menatap dengan air mata yang mengucur bebas.

Santi tak kuasa melihatnya, hampir terjatuh jika saja Rendi tak cepat menangkapnya. Menuntun untuk duduk di samping Ambar. Sedangkan Nadia sendiri sejak tadi tak sadarkan diri. Di bawa ke kamar lantai atas, dan diurus oleh asisten rumah.

"Hasna ... kenapa tega ninggalin Mas Satria! Kamu sudah janji bakal nemenin Mas Satria sampai tua nanti! Kenapa kamu pergi sebelum Mas Satria menepati janji! Ya Allah ...!" Satria menangis histeris memeluk tubuh sang istri.

'Maafkan Satria, Mak. Hari ini, Satria nangis lagi,' batin Satria menangis. Hati seakan teriris tipis. Perih!'

💞💞💞

Tanggapannya, ya. Jangan lupa vote juga😊

Menggapai Cahaya di Langit Doa (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang