Part 7

6.2K 586 19
                                    


Satria terperangah dengan rumah yang dilihatnya. Seperti istanah, katanya. Pandangan menyapu seluruh halaman yang luas. Ada kolam berisi ikan di samping kanan. Air mancur kecil di tengah. Juga berbagai tanaman hias menambah kesan mewah.

“Kok malah bengong, ayo masuk.” Santi menepuk pelan pundak Satria. Tersenyum.

“Ini rumah siapa?” Satria masih tak percaya, menatap rumah mewah dengan desain Jawa modern di hadapannya.

“Ini rumah Eyang, rumah kita juga.” Santi mengelus lembut kepala Satria.

“Lah kok masih di sini, ayo masuk.” Rendi datang dari samping setelah menurunkan semua barang dan dibantu para asisten.

“Sepeda Satria?” Satria mendongak, bertanya.

“Sudah ditaruh di garasi. Jangan khawatir, ya.”

Rendi juga Santi menggandeng Satria masuk ke rumah. Di dalam, seorang anak kecil berlari dari ruang belakang menghampiri Rendi.

“Papa ….”

Rendi berjongkok untuk menerima pelukan. “Anak Papa habis ngapain ini? Kok basah semua? Main air, ya?”

Satria menatap penuh dengan tanda tanya. Sampai akhirnya Rendi memperkenalkannya dengan anak kecil itu.

“Satria kenalin ini namanya Ryan. Anak Papa juga.” Rendi menghampiri Satria dengan Ryan dalam gendongan.

Satria sedikit terkejut, tapi tetap diam.

“Ryan kok basah kuyup begitu, nanti masuk angin lho.” Santi mengusap rambut Ryan.

“Mamanya ke mana, Mbak?” Rendi bertanya kepada Mbak Siti, asisten rumah yang mengasuh Ryan.

“Tadi sih bilangnya mau ke salon.”

Rendi berdecak. “Ryan ganti baju sama Papa, ya?”

“Kalau Ibu ke mana, Mbak?” Santi bertanya keberadaan mertuanya.

“Ibu juga pergi. Ndak tahu ke mana.”

“Kamu bawa Satria ke atas aja langsung, San.” Rendi berkata.

Santi mengangguk. “Ayo, Nak, kita ke kamar. Kamar buat Satria.”

Malamnya, setelah makan malam bersama. Juga setelah semua diperkenalkan dengan Satria, anggota baru di keluarga Pramana. Ambar, ibunya Rendi mengajak bicara anak serta menantunya itu di ruang tengah lantai bawah.

“Kenapa harus anak sebesar itu? Apa tidak ada bayi atau minimal masih usia balita?” cecar Ambar tak sabar. Berdiri dengan tangan dilipat di dada. Wajah sinis menampakkan kekuasaan pada diri.

“Satria itu anaknya manis kok, Bu ---”

“Diam kamu!” sambar Ambar dengan nada melengking sebelum menantunya itu menyelesaikan ucapannya.

“Ibu …!” Rendi berdiri, tak rela jika istrinya dibentak. “Apa tidak bisa bicara dengan baik-baik? Kenapa harus membentak seperti itu?”

“Kamu juga!”

“Duduk, Bu, kita bicara baik-baik dengan tenang.” Rendi menarik pelan lengan ibunya itu dan membawanya duduk di sofa warna merah menyala tersebut.

Rendi pun duduk di sebelah ibunya, dengan tenang mengatakan, “Rendi sudah memutuskan akan tetap mengangkat Satria menjadi anak. Dia itu yatim piatu, Bu. Bukankah pahala besar jika kita mau merawat anak yatim?”

Menggapai Cahaya di Langit Doa (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang