❣
Suara salam dari luar membuat Lek Parni dan Safitri yang berada di dapur menoleh dan menjawab salam bersamaan.
“Siapa itu yang datang, Fit, coba kamu liat,” perintah Lek Parni pada Safitri yang sedang menggoreng tahu.
“Kayaknya Mas Arul, Buk.”
Safitri pun segera melangkah keluar.Terlihat punggung seorang lelaki yang sudah begitu familiar berdiri di depan pintu yang terbuka. Safitri mendekat dan menyapa, “Mas Arul, ada apa?”
Lelaki dengan tinggi yang tak jauh berbeda dengan Satria itu menoleh dan tersenyum. “Mana Satria, Fit, denger-denger dia pulang ya?”
“Iya, Mas, baru nyampe tadi siang. Sekarang lagi mandi. Tunggu di dalem aja, Mas.” Safitri mempersilakan, masuk dan diikuti Arul yang kemudian duduk di kursi.
“Tak bikinin minum dulu ya, Mas,” ucap Safitri kemudian.
“Halah ndak usahlah, kayak tamu agung saja dibikinin minum. Santai sajalah, Fit.”
“Ndak apa-apa, Mas. Tunggu saja.”
Langkah Safitri terhenti saat sampai di depan pintu dapur. Matanya membulat menatap Satria yang baru saja keluar dari kamar mandi, memakai kaus merah dan celana santai cokelat selutut. Tangannya sibuk mengelap rambut yang basah dengan handuk kecil.
“Siapa yang dateng, Fit?” tanya Lek Parni yang membuat terkejut Safitri.
“Ada tamu, Fit?” Satria menimpali, menghentikan aktivitasnya yang sempat membuat Safitri menelan ludah dan menatap tanpa kedip.
“Hmm … itu, Mas.” Gagap Safitri menjawab, “Hmm … ada Mas Arul nyariin Mas Satria.”
“Arul?” Wajah Satria berbinar seketika dengan senyuman mengembang memperlihatkan giginya yang berjejer rapi. “Dimana dia?” tanyanya.
“Ada di ruang tamu, Mas.”
“Makasih ya, Fit.”
Satria langsung keluar dari dapur. Masuk ke kamar, melempar handuk ke ranjang, lalu menyisir rambut dengan cepat. Setelah itu buru-buru dia menghampiri sahabat lamanya di ruang tamu.
“Arul …!” serunya diiringi senyuman yang tak lepas dari bibir.
Arul yang sedang memainkan ponsel langsung berdiri. “Hei anak kota, ingat jalan pulang juga ternyata!”
Satria tertawa dan tanpa ragu langsung memeluk sahabatnya. Mereka berpelukan dengan tawa berderai.
“Ini rupanya dokter muda dari kota yang menjadi pembicaraan warga desa,” ucap Arul setelah melepaskan pelukan dan menatap lekat wajah Satria dengan berdecak dan menggelengkan kepala. “Pantas saja banyak gadis desa yang tergila-gila. Para Ibu-Ibu sibuk berebut ingin menjadikanmu menantu,” imbuhnya.
“Ngomong apa sih kamu, Rul. Duduk dululah.”
Satria terkekeh, memukul pelan lengan Arul lalu mengajaknya ke kursi panjang, duduk bersebelahan.“Ndak nyangka aku sama kamu, Sat. Sekarang sudah jadi dokter. Hebat!”
“Halah kamu juga hebat sekarang, sebentar lagi jadi kepala desa muda.”
Satria tertawa sambil menepuk pelan bahu Arul.“Ck, tahu darimana kamu kalau aku nyalon kepala desa?”
Kedua alis tebal Arul bertautan.“Fotomu itu terpajang di mana-mana, Rul!” Satria terbahak, ingat saat ke makam tadi sempat melihat poster dengan foto temannya itu memakai kemeja rapi, tertempel di mana-mana.
Arul berdecak dan menghela napas berat.
“Aku juga terpaksa nyalon kepala desa. Dipaksa ibuku. Kalau ndak mau, bisa tiap hari ngomel ndak berhenti. Budek kupingku!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Menggapai Cahaya di Langit Doa (Selesai)
EspiritualKisah seorang anak lelaki yang tumbuh dewasa dengan lika-liku kehidupan yang sangat tajam. Satu-satunya wanita yang dicintainya harus pergi meninggalkan untuk selamanya. Wanita yang dia panggil Emak. Namun kehidupannya berubah saat diangkat anak ol...